TANGAN Tuhan mengayunkan palu, getaran dan suaranya begitu sayu, tanda dimulainya sidang lanjutan para bahadur, pengasuh anak nagari.
"Baik kita mulai sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi jaksa," kata Hakim Ketua Agus Komarudin,SH sesaat sebelum palu berdentang sayu.
Siang itu, Senin 16 Desember 2019, puluhan pengunjung yang memadati ruang sidang terpaku, menyorot 'tangan Tuhan', mengamati setiap perkataan sang hakim.
Seorang saksi diminta duduk tepat dihadapan tiga hakim, pria itu membelakangi empat bahadur dan puluhan pengunjung.
Di sudut kiri, tiga orang jaksa, satu wanita dan dua pria sibuk menata tumpukan berkas berisi ribuan lembar kertas yang menyimpan tiap kalimat dakwaan.
Sementara di sudut kanan, ada delapan kuasa hukum para bahadur, mereka senantiasa mengamati percakapan antara hakim dan saksi.
"Saya selaku guru dan bendahara MIN Gumarang," kata Yosriadi, saksi pertama yang membuka 'kunci' berisi fakta-fakta para bahadur.
Sejak awal dimulainya sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Padang itu, suasana hening 'terkurung' dalam ruang separuh lapangan badminton.
Alur ceritanya seperti bola bulu, dilempar dan ditangkis, namun tidak mengikis kebenaran yang terus terungkap dari pria berkopiah itu.
"Saya mengenal mereka, Pak Rustian, Ibu Nelwati, Pak Nofiardi dan Ujang adalah orang baik," ungkap Yosriadi.
Saksi mengungkap satu persatu jasa para bahadur; "karena jasa mereka masyarakat dapat menyekolahkan anak-anak mereka di Gumarang".
Kisah para bahadur diungkap dalam fakta persidangan, di hadapan 'tangan Tuhan', mereka berikrar tentang semua kebaikan. Tidak satu saksi pun mengungkap keburukan dari empat terdakwa yang mereka (jaksa) penjarakan.
"Salahkan mereka," kata hakim mengarahkan wajahnya dengan mengangkat dagu ke arah para jaksa penuntut yang terdunduk, bisu.
Ketika itu, hakim menanggapi ungkapan kuasa hukum tentang akibat dari kriminalisasi yang mencederai dunia pendidikan, menggores kemuliaan peradilan.
"Ujang bekerja, dan digaji sesuai dengan pekerjaanya, bahkan sekolah mendapat penghargaan karena dedikasinya bekerja siang malam. Jadi mengapa dia sampai di sini (pengadilan)?" kata Wilson, kuasa hukum Ujang.
Sisi Bahadur
Para saksi juga mengungkap sisi bahadur (pahlawan) seorang Ujang dan keluarganya yang rela menghibahkan tanahnya untuk dibangun MIN di Nagari Gumarang.
Tidak ada imbalan bagi keluarga Ujang dalam menghibahkan tanah milik mereka, kecuali Ujang menjadi penjaga sekolah bergaji standar ASN.
Sebuah kesepakatan yang tidak sebanding dengan harga tanah miliknya, tak sebanding pula dengan dedikasi yang telah Ujang berikan.
"Sudah ratusan siswa lulusan MIN Gumarang, sudah banyak pula prestasi yang dihasilkan, mereka seharusnya menjadi pahlawan bukan malah diseret ke pengadilan, dituntut dengan tuntutan yang begitu janggal," kata kuasa hukum.
Ujang didakwa JPU turut serta dalam tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Rustian, kepala sekolah terdahulu.
Rustian saat menjabat sebagai kepala sekolah pertama mengambil kebijkan lewat perjanjian tertulis tentang hibah tanah pengembangan MIN Gumarang.
Dalam perjanjian itu, pihak keluarga meminta agar Ujang dapat diangkat menjadi ASN.
Namun karena kekurangan dan pendidikannya yang tidak memenuhi syarat, pihak sekolah mengusulkan Yupendi, keponakan Ujang untuk diajukan sebagai honorer dan ASN.
Segala tanggungjawab dan tugas Yupendi dilaksanakan Ujang dengan baik sebagai petugas kebersihan, hingga MIN Gumarang menjadi sekolah unggulan.
Kebijakan Rustian yang menjadikannya sebagai bahadur, melahirkan bahadur-bahadur lainnya seperti Nelwati hingga Nofiardi.
Dalam fakta persidangan, para saksi mengungkap adanya kemajuan sekolah setiap tahunnya. Terdapat ratusan siswa yang telah dicetak MIN Gumarang.
Baik Rustian, Nelwati maupun Nofiardi tidak sedikitpun menerima keuntungan dari kebijakan yang mereka ambil kecuali demi kebaikan dan kemajuan dunia pendidikan di Nagari Gumarang.
Sisi Kemanusiaan
Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Asep Ruhiyat mengungkap sisi kemanusiaan luar biasa yang dilakukan para terdakwa.
Mereka bahadur, pahlawan pendidikan yang harusnya menerima penghargaan sesuai dengan dedikasi yang telah mereka berikan.
Menurut Asep, apa yang dilakukan para terdakwa sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 45 Pasal 31 dimana setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
"Dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Jadi dimana salahnya? Ini seperti sidang dagelan (adegan lelucon), bahadur menjadi korban kriminalisasi. Mereka buta.
Namun keputusan ada pada 'tangan Tuhan', jangan butakan 'Tuhan'.
(rb)
Refleksi SMSI Akhir Tahun 2024: Pilar Indonesia Emas 2045
RIAUBOOK.COM, JAKARTA - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyampaikan catatan akhir tahun 2024 dengan menyoroti kiprah Presiden Prabowo Subianto dalam…