Oleh Fazar Muhardi
AWAL Oktober 2019, gajah sumatera (elephas maximus) liar bernama Dita ditemukan mati di dalam kanal tak jauh dari kebun ubi warga di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Bengkalis, Riau.
Malangnya Dita, selama lima tahun dia hidup menderita dengan luka di tapak kaki depan bagian kiri yang putus akibat terkena jerat.
Dita telah menjalani perawatan medis sejak 2014, saat itu dia ditemukan dalam kondisi luka parah. Tim medis berhasil menyelamatkan hewan besar itu meski dia tidak lagi bisa hidup normal.
Dia kerap kesulitan berjalan hingga selalu tertinggal dari kelompoknya hingga akhirnya ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan.
Kematian tragis berlanjut pada seekor induk gajah sumatera berusia 25 tahun. Mirisnya, hewan bongsor itu ditemukan mati dengan kondisi sedang hamil tua di areal lahan konsesi perusahaan swasta, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis.
Bangkai induk gajah liar itu ditemukan tanggal 25 Mei 2022 pukul 12.12 WIB dengan posisi mati tergeletak bersama bayi yang dikandungnya di tengah jalan (kilometer 9) dalam kawasan konsesi hutan tanam industri (HTI).
Kedua gajah betina baik Dita maupun induk tanpa nama yang mati mengenaskan bersama janin tuanya itu merupakan kawanan kelompok gajah yang menetap di kawasan Hutan Talang Suaka Margasatwa Balai Raja.
Awalnya pada tahun 2010, kelompok gajah tersebut sempat terdeteksi berjumlah lebih dari 50 ekor. Namun saat ini jumlahnya drastis berkurang dan hanya tersisa tujuh ekor.
Git Fernando dari Rimba Satwa Foundation (RSF) yang fokus pada konservasi alam mengungkap, populasi gajah sumatera di Riau terus berkurang seiring lajunya deforestasi hutan alam hingga mempersempit ruang kehidupan gajah.
"Dari 50 ekor gajah yang ada pada kelompok Balai Raja, tahun 2015 tedeteksi hanya tinggal 20 ekor, dan sekarang hanya tersisa tujuh ekor," kata Dit saat ditemui pada Jumat (14/10/2022) di Pusat Latihan Gajah (PLG) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Minas, Siak.
Data BKSDA Riau menyebutkan, sepanjang 20 tahun terakhir populasi gajah sumatera di Riau telah berkurang 60 persen.
Dengan demikian, dapat dikalkulasikan tingkat potensi kepunahan hewan bongsor itu setiap tahunnya mencapai 3-4 persen.
"Jika tidak ada tindakan nyata, solusi nyata, maka bisa jadi kepunahan itu akan terjadi dalam waktu 15 tahun ke depan," kata Dit.
Sebagai NGO mitra BKSDA Riau yang berkosentrasi mengatasi persoalan satwa dilindungi, RSF melakukan pemetaan berbagai masalah berkaitan keberlangsungan hidup satwa dilindungi khususnya gajah sumatera.
Hasilnya, terdapat sejumlah masalah yang menyebabkan gajah sumatera mengalami degradasi parah bahkan terancam punah.
"Dimulai dari deforestasi hutan alam," kata Git.
Deforestasi
Dit mengungkap, deforestasi atau penebangan tanaman hutan diikuti dengan alih fungsi lahan hutan alam menjadi hutan tanam industri (HTI) dan perkebunan sawit menyebabkan ekosistem gajah menjadi terganggu.
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), sebuah LSM yang sejalan dengan RSF menyingkap, pada tahun 2020, hutan alam di Riau tersisa hanya seluas 1.442.669 hektar.
Jumlah itu hanya seperempat saja dari luas hutan pada 1982 yang mencapai 6.727.546 hektar. Dengan demikian, sepanjang 20 tahun hutan alam Riau yang beralih fungsi mencapai 5.284.877 hektare.
"Data Jikalahari itu merupakan analisis melalui Citra Landsat 8-OLI dan Sentinel-2 dengan akurasi data yang maksimal," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Menurut dia, terus berkurangnya luas hutan alam Riau antara lain akibat terjadinya peningkatan deforestasi.
Dan yang lebih miris lagi menurut dia adalah, peningkatan deforestasi atau hilangnya hutan akibat kegiatan manusia justru dilakukan oleh korporasi HTI, perkebunan sawit dan cukong-cukong yang merambah kawasan hutan lindung, konservasi dan taman nasional.
Catatan Jikalahari, korporasi menguasai 2,1 juta hektar lahan hutan yang kini telah beralih fungsi menjadi HTI dan perkebunan sawit.
Temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Provinsi Riau pada 2018 ada 1.8 juta hektar sawit ilegal yang terbagi dalam 378 perusahaan.
Jumlahnya dikabarkan terus bertambah hingga menembus angka lebih 2 juta hektare ditahun 2022.
Kantong Krisis
Sebelumnya, organisasi perlindungan satwa WWF menyatakan delapan kantong gajah yang menjadi habitat asli bagi gajah sumatera kondisinya kini kritis dan kian memprihatinkan sehingga berpeluang terjadi kepunahan lokal. Hal itu karena perubahan bentang alam yang membuat konflik dengan manusia makin sering terjadi.
Menurut WWF, kantong gajah sudah banyak beralih fungsi, yang berbentuk hutan makin sedikit, karena menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Hal inilah yang membuat konflik gajah dengan manusia tidak bisa dihindari dan makin sering terjadi.
Alih fungsi hutan di kantong gajah juga kian mengancam kelestarian satwa dilindungi itu. Berdasarkan survei WWF, populasi gajah di sejumlah kantong tinggal segelintir dan berpeluang terjadi kepunahan lokal (local extinction).
Seperti di kantong gajah Rokan Hilir dan Batang Ulak, saat ini tidak ada lagi gajah liar di sana karena kawasan itu telah dipenuhi tumbuhan sawit.
Kemudian di kantong Mahato-Barumun, menurut WWF hanya tinggal tiga individu dan kantong gajah Balai Raja tersisa lima individu gajah liar.
WWF menyingkap, saat ini populasi gajah sumatera yang masih cukup banyak tersisa di kantong gajah Giam Siak Kecil yang mencapai 60-80 individu. Kemudian di kantong Tesso Nilo Utara sekitar 30 ekor dan Tesso Nilo Tenggara ada sekitar 40 ekor.
Sayangnya, menurut WWF kantong-kantong gajah tersebut saat ini juga terus mengalami deforestasi hebat. Perambahaan dan alih fungsi lahan terus terlangsung hingga saat ini.
Seperti di kawasan Tesso Nilo, dilaporkan sekitar 70 persen dari 88 ribu hektare kawasan hutan lindung di sana kini dikuasai oleh pengusaha perkebunan dan HTI.
Begitu pun Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, dilaporkan perambahan hutan terus terjadi di kawasan itu hingga hanya menyisahkan 150 ribu hektare hutan alam, sementara lebih 100 ribu hektare kini telah menjadi kawasan perkebunan sawit dan HTI.
"Deforestasi yang begitu hebatlah yang kemudian menimbulkan masalah yang hingga kini masih terus terjadi. Yakni konflik gajah dengan manusia," lanjut kata Tim RSF, Git Fernando.
Konflik Gajah-Manusia
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mengungkap, deforestasi hutan alam yang menyebabkan menyempitnya habitat gajah terbukti menimbulkan konflik antara gajah yang tiada henti.
"Bahkan hampir setiap hari terjadi konflik gajah dan manusia di Riau, namun ada konflik besar dan ada konflik kecil," kata Gunawan selaku Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Seksi Konservasi Wilayah 4 yang membawahi Dumai dan Siak, Jumat (14/10/2022).
Menurut dia, konflik gajah dengan manusia terjadi dipicu menyempitnya habitat sehingga gajah kerap masuk ke wilayah perkebunan sawit, HTI, hingga ke permukiman warga.
Saat ini di Riau menurut dia hanya tersisa sekitar 170 individu gajah liar yang terbagi dalam delapan kelompok, mereka menghuni kantong-kantong gajah yang tersisa.
Gajah-gajah liar itu, demikian Gunawan, kerap melintasi kawasan perkebunan sawit, HTI dan pemukiman warga karena memang itu dulunya adalah jalur lintas atau wilayah jelajah mereka.
"Konflik kecil terjadi ketika gerombolan gajah masuk ke wilayah perkebunan dan HTI, namun akan menjadi konflik besar ketika gajah mulai masuk ke wilayah perkampungan," kata dia.
Menurut data gabungan dari lembaga konservasi, sejak tahun 2004 hingga saat ini telah terjadi lebih 130 konflik besar gajah 'versus' manusia.
WWF mencatat sepanjang 2004 hingga 2013 terdapat 100 kematian gajah akibat berkonflik dengan manusia. Namun sejak 2013 hingga saat ini, dilaporkan intensitas konflik semakin parah dengan penambahan 30 kasus.
Bukan cuma 'pihak' gajah, konflik juga mengakibatkan banyakanya korban tewas dari pihak manusia.
Dilaporkan, bahwa sejak 18 tahun terakhir sudah belasan manusia tewas setelah diserang hewan bongsor itu. Terakhir nasib na'as dialami Palen Peter Aritonang.
Pria paruh baya itu ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan pada Kamis pagi, 27 Januari 2022 di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Kasim II, Desa Rantau Bertuah, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak.
TIM BBKSDA Riau yang turun ke lokasi kejadian mengindikasi korban Palen Peter tewas setelah diinjak gerombolan gajah dewasa yang melintas.
Selang beberapa bulan kemudian, pada tanggal 5 Mei 2022, giliran seekor induk gajah yang sedang hamil tua ditemukan mati membusuk di badan jalan dalam kawasan konsesi HTI diduga akibat diracun.
Git mengatakan, intensitas konflik gajah dengan manusia akan terus meningkat mengingat ruang habitat gajah yang terus berkurang akibat deforestasi.
Lantas bagaimana solusi untuk mengatasi persoalan itu?
Menurut RSF, solusi terbaik untuk mengurangi intensitas konflik gajah 'versus' manusia adalah dengan berbagi pola ruang dan melakukan deteksi dini ancaman gajah.
Kesadaran berbagi pola ruang menurut Git adalah solusi terbaik untuk manusia menghindari konflik namun tetap mempertahankan populasi gajah.
Caranya menurut dia adalah dengan menerapkan agroforestri atau managemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada unit pengolahan social, ekonomi dan budaya masyarakat.
"Jadi kita harus melakukan pemetaan kawasan-kawasan yang menjadi jalur jelajah gajah, juga memetakan wilayah-wilayah rawan konflik gajah dan manusia," kata Git.
Setelah dilakukan pemetaan, demikian Git, kemudian di sekitar kawasan yang mejadi rawan konflik termasuk di sekitar permukiman dan perkebunan warga ditanami tanaman yang tidak disenangi oleh gajah seperti jengkol dan lainnya.
Hal itu menurut dia efektif untuk menghalau gajah mengingat mamalia bongsor itu memiliki kebiasaan menghindari lahan yang ditumbuhi tanaman yang tidak dia suka.
Namun pada titik-titik tertentu, demikian Git, pihaknya juga memperkaya tanaman yang menjadi pakan kesukaan gajah.
"Ini bertujuan untuk membangun pola berbagi ruang antara manusia dengan gajah," katanya.
Deteksi Ancaman
Pola kedua untuk menghindari atau menekan konflik gajah dengan manusia menurut Git adalah dengan deteksi dini ancaman.
"Caranya adalah memasangkan Global Positioning System Collar (GPS) collar pada gajah," kata Git.
Dia menjelaskan, GPS collar berfungsi untuk monitoring pergerakan gajah sumatera melalui SMART Patrol System.
Dalam konteks monitoring, kata Git, Rimba Satwa Foundation sebelumnya didukung SKK-Migas, Chevron Pacific Indonesia (CPI), Perkumpulan Gajah Indonesia (PGI) mengembangkan SMART patrol system di tiga wilayah kantong gajah yaitu Balai Raja, Giam Siak Kecil dan Petapahan.
Tahun 2020 RSF katanya telah melakukan pemasangan 3 GPS collar bantuan Chevron untuk gajah dan monitoring pergerakan gajah sumatera.
Upaya SKK-Migas dan Chevron tersebut diteruskan oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR)pasca alih kelola 9 Agustus 2021.
"Sekitar November atau Desember 2022 akan ada tambahan pemasangan 2 GPS collar bantuan dari PHR," kata Git.
Dengan terpasangnya GPS collar ini, maka secara langsung menurut Git Chevron dan PHR telah berperan serta mencegah konflik gajah dengan manusia yang berlansung lebih dari 30 tahun.
Senior Analyst Media and Communication PHR WK Rokan, Pradonggo mengatakan, apa yang dilakukan PHR dalam mendukung upaya konservasi gajah semata-mata adalah untuk memicu gerakan positif mencintai lingkungan di mana kita berada, serta berbagi pola ruang kepada makhluk hidup lain.
Ini artinya, lanjut dia, PHR ingin agar orang melakukan hal yang sama, sehingga kelak akan ada mata rantai orang-orang yang berbuat baik terhadap lingkungannya.
"Gajah harus tetap ada, jangan sampai anak cucu kita hanya mendengar cerita tentang kekejaman manusia. Dan mereka harus mendapat bukti kecintaan kita terhadap sesama makhluk, alam dan lingkungan," demikian Pradonggo.
Oleh Fazar Muhardi
Refleksi SMSI Akhir Tahun 2024: Pilar Indonesia Emas 2045
RIAUBOOK.COM, JAKARTA - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyampaikan catatan akhir tahun 2024 dengan menyoroti kiprah Presiden Prabowo Subianto dalam…