Sebagai Negara yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan ribuan gugusan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dengan lautan yang begitu luas hingga batang ubi di lemparkan ke tanah Indonesia dapat tumbuh dengan suburnya. Betapa luar biasa nikmat yang Tuhan berikan untuk rakyat Indonesia kekayaan alam yang tiada taranya di muka bumi yang hanya sementara ini. Banyak Negara asing yang cemburu dengan kekayaan Indonesia, namun sayangnya yang menjadi kelemahan bangsa yang dianugrahi kekayaan ini tak mampu dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam menguasai sumber daya alamnya sendiri.
Banyak negara Asing yang memanfaatkan momentum ini guna mencari keuntungan dan kekayaan dari tanah permai Indonesia dengan dalih Investasi dan Penanaman Modal guna menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan negara katanya.
Sebagai kaum yang berfikir dan memiliki nalar yang menolak untuk kembali terjajah banyak peristiwa-peristiwa melalui gerakan mahasiswa yang menolak penanaman Modal asing yang modusnya sudah tercium yaitu untuk merampas dan menjajah kekayaan alam bangsa Indonesia. Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) adalah tonggak awal kaum intelektual yang dipelopori oleh Mahasiswa yang menolak penanaman modal asing di Indonesia.
Ribuan manusia yang telah mencapkan dirinya sebagai kaum yang menolak untuk kembali terjajah mengahadang PM Jepang Tanaka Kakuei yang saat itu datang ke Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan menanamkan modal asing di Indonesia, namun karena banyaknya personil keamanan Pemerintah Orde Baru saat itu terjadi insiden "keos" yang membuat pasar senen kala itu sampai terbakar, terjadi penjarahan dan pengrusakan.
Namun ada hal yang perlu ditangkap dari peristiwa Malari tersebut, bahwa sejatinya Pemuda dikala itu menolak namanya penguasaan asing terhadap kekakayaan alam yang ada di Indonesia. Perlu diketahui sebelumnya investasi dan penanaman modal asing sejatinya adalah imprealisme gaya baru yang menjajah bangsa lain dengan merampas sumber-sumber vital bangsa yang mereka jarah.
Sejatinya tidak ada yang baru dibawah kolong langit ini, semuanya hanya pengulangan sejarah. Yang membedakan hanya orang, waktu, dan tempat selebihnya sama. 15 Januari 2017, sudah 43 Tahun terlewatkan kembali PM Jepang Shinzo Abe datang ke Indonesia yang dalam lawatan agendanya memperingati Malari, penyambutan kedatangan orang bermata sipit dan bangsanya pernah menjajah Indonesia disambut dengan dentuman meriam dan acara ceremony yang mewah dan megah, bahkan melibatkan 5.000 Pelajar menyambutnya.
Perlu diketahui bahwa kedatangan PM Jepang selain agenda kunjungan sekaligus memperingati Malari, bahwa Jepang ingin menanamkan modalnya untuk mengelola pulau yang ada di Indonesia. Tentu ini mengancam kedaulatan NKRI. Sejak tahun 2014 sudah ada 16 Pulau di Indonesia telah dikuasai oleh Asing, menurut Pusat data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dari 16 Pulau yang dikuasai Asing, dan ini tidak bisa diakses tanpa izin, serta tersebar di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa tenggara Barat dan Kalimantan Barat.
Fakta ini menunjukkan bahwa Privatisasi dan Komersialisasi wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil telah berlangsung. Pada hal amanat Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan praktek seperti ini telah bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 dan 33. Permintaan PM Jepang Shinzo Abe di respons baik oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang akan merencanakan penanaman modal untuk mengelola pulau yang ada di Indonesia. Tentu rencana Luhut B. Panjaitan bertabrakkan dengan amanat konstitusi.
Sebagai seorang Menko harusnya melihat landasan konstitusi, ini persoalannya mengancam kedaulatan. Dari Kebijakan yang dilihat dari awal terbentuknya Pemerintahan Kabinet Kerja, telah mengalami disorientasi dan menunjukkan keberpihakan kepada Asing.
Sejalan dengan gerakan Mahasiswa pada tanggal 12 Januari 2017, aksi bela rakyat 121 yang menuntut menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga listrik, tarif kendaraan, hingga BBM, pada intinya gerakan yang digagas Mahasiswa pada era 1974 dan 2017 adalah melawan Pemerintah yang pro Asing. Pada dewasa ini telah tampak pemerintah telah mengebiri kepentingan nasional atas nama investasi, dan rakyat Indonesia menjadi tumbal dari kebijakan ini. Belum lagi persoalan tenaga asing China yang berjamur dimana-mana dan Pemerintah seakan tutup mata, hingga parlemen pun terbujur kaku dikursi sofa.
Kekhawatiran terbesar terhadap Bangsa Indonesia ini kembali terjajah dengan berbagai negara, di Bagian Barat dikuasai China, dibagian tengah dikusai Eropa dan ditimur dikusai oleh Amerika. Jika Pemerintah ingin tetap Indonesia berdaulat maka hapuskan kebijakan-kebijakan pro Asing, atau Mahasiswa akan kembali melakukan Reformasi. ***
Penulis adalah Dirjen Kebijakan Publik BEM Universitas Riau: Aditya Putera Gumesa
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…