RIAUBOOK.COM - Alokasi atau pencairan dana hibah yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) senilai total Rp5 miliar untuk dua kubu Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menurut pengamat hukum bisa menjadi temuan hukum karena status quo dua organisasi itu.

"Menurut saya penyalurannya itu juga telah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) Riau Nomor 2 Tahun 2022," kata Abubakar, penganat hukum yang juga mantan Kepala Kejaksaan Negeri di Riau kepada pers di Pekanbaru, Senin (6/2/2023).

Dia menjelaskan, dana hibah untuk LAMR tahun 2022 totalnya adalah sebesar Rp5 miliar, namun dibagi untuk dua lembaga yang berbeda.

"Untuk LAMR kubu Marjohan Yusuf dialokasikan Rp3,7 miliar, sementara untuk kubu Syahril Abubakar sebesar Rp1,3 miliar," kata Abubakar.

Padahal, kata dia, saat ini dua kubu LAMR baik Marjohan maupun Syahril Abubakar sedang ada perselisihan, bahkan putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru.

"Putusan Pengadilan Tinggi memerintahkan untuk perkara itu segera diadili dan diputuskan. Pihak tergugat yakni kubu Marjohan Yusuf kemudian melakukan upayah mohon peninjauan kembali (PK). Dengan demikian LAMR statusnya quo, tapi mengapa Pemprov Riau tetap mencairkan dana hibah ke LAMR?" kata Abubakar.

Menurut dia, seharusnya Pemprov Riau tidak menyalurkan dana hibah sampai perkara itu 'inkracht' sehingga tidak memunculkan persoalan hukum.

"Kalau sekarang dana sudah dialokasi, dan kemudian bagaimana pertanggungjawabannya? Nah ini yang bahaya dan bisa jadi temuan hukum," kata dia. (fzr)