Oleh Fazar Muhardi
BAHASAmerupakan suatu alat komunikasi yang canggih untuk mempersatukan bangsa yang besar, dan negara ini diakui sebagai bangsa yang besar dilihat dari berbagai aspek.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menegaskan, bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Besar, menurut dia, bukan hanya karena jumlah penduduknya yang lebih dari 250 juta jiwa, bukan karena 17 ribuan pulau dan bukan karena sumber daya alam yang melimpah, melainkan karena bukti sejarah.
"Kebesaran Indonesia karena bangsa ini sudah teruji oleh sejarah. Sekali lagi, Indonesia ini adalah bangsa yang besar," demikian Jokowi dalam satu kesempatan di Senayan, Jakarta, Agustus tahun lalu (2017).
Jika ditarik kembali, maka tentu bahasa Indonesia adalah salah satu 'alat' sejarah kemerdekaan, juga 'alat' untuk menyatukan keberagaman yang dibingkai dalam Bhinneka Tunggal Ika yang kini jadi semboyan bangsa, tertulis pada lambang negara, Garuda Pancasila.
Frasa ini -- Bhinneka Tunggal Ika -- berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah "berbeda-beda tetapi tetap satu".
Sebagian orang bodoh pernah bertanya: "Apakah bahasa Indonesia penting"? Ahli bahasa Mulyono menjawab: "Ketika bahasa itu dituliskan dan diucapkan dengan ejaan yang benar, maka bahasa itu menjadi penting untuk menyatukan keberagaman.
Namun ketika salah dalam penulisan atau ejaan, maka bahasa itu sebaiknya tidak digunakan sebagai penyebab rancu, bukan rancuh".
Hanya saja, pada zaman modern saat ini, dilihat dari pengalaman berbahasa sehari-hari, hampir semua orang sering tidak menyadari bahwa suatu kata atau frasa (gabungan dua atau lebih kata yang tidak memiliki kaitan predikat) yang mereka ucapkan berkali-kali mengandung makna yang janggal, unik alias tidak lazim jika dipahami maknanya secara logis.
Kejanggalan itu bisa karena aspek semantik atau maknawinya, maupun aspek sintaksis atau gramatikanya. Tampaknya hal ini merupakan gejala universal dalam dunia kebahasaan, begitu juga yang terjadi untuk bahasa Indonesia.
Jika ditelusuri, dari pengalaman hidup dimasa kini, terdapat sejumlah kosakata janggal yang justru digunakan secara umum, baik bagi pemerintah level daerah, bahkan hingga pada tulisan akademik kalangan mahasiswa, malah pers pun 'me-lazimkannya.
Semisal walikota, sesungguhnya ini adalah frasa yang terdiri dari dua kata dengan kandungan makna berbeda. Wali artinya adalah wakil, sementara kota adalah pusat pemukiman atau keramaian.
Kata tak lazim tersebut, persis seperti upaya 'kawin' paksa dari dua kata berbeda makna. Dan penulisan frasa tersebut, yang benar sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah wali kota.
Jika ditelusuri lagi, masih banyak frasa-frasa janggal dalam khazanah bahasa Indonesia dan itu pernah dirangkum oleh Mulyo Sunyoto.
Mulai dari masa duduk di bangku sekolah dasar hingga masa dewasa, warga Indonesia pastilah akrab dengan frasa ini: "mengheningkan cipta".
Frasa ini dipakai sebagai ungkapan untuk suatu momentum dalam upacara bendera di sekolah-sekolah, yang di era 70 sampai 80 an dilaksanakan setiap hari Senin.
Perkembangan berikutnya setiap bulan setiap tanggal 17. Puncaknya terjadi pada bulan Agustus, yang bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI.
Apa makna frasa "mengheningkan cipta"? Rata-rata pengucap dan pendengar frasa ini tak mempersoalkan lagi maknanya. Pokoknya semacam berdoalah. Kalau pembina atau komandan upacara mengatakan: "Mari kita mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan", peserta upacara segera tahu maksudnya.
Mereka merundukkan kepala dalam beberapa menit, mendengar lagu instrumentalia "Hymne Pahlawan" sambil mengucapkan doa-doa sesuai dengan agama masing-masing. Dengan demikian, "mengheningkan cipta" semakna dengan "berdoa".
Arti ini tak jauh berbeda dengan makna yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yakni "bertafakur", "diam merenung arwah", "bersamadi".
Namun, jika dikupas maknanya kata per kata, frasa itu terasa sekali kejanggalannya.
Coba simak: "mengheningkan" bermakna "berdiam", "mengenangkan" sedangkan "cipta" bermakna "kemampuan pikiran mengadakan sesuatu yang baru" atau "angan-angan yang kreatif".
Jadi, dalam kedua pengertian itu, "mengheningkan cipta" bermakna "berdiam atau mengenangkan kemampuan pikiran mengadakan sesuatu yang baru".
Tentu tidak masuk akal bahwa "kemampuan berpikir bisa atau perlu dikenang". Jadi secara harfiah, frasa-frasa janggal tidak bisa dipahami. Pemaknaan frasa-frasa seperti itu harus dilakukan secara metaforik.
Karakter frasa janggal sewarna dengan idiom atau ungkapan, yang harus dimengerti secara keseluruhan tanpa dipecah-pecah makna berdasarkan satuan kata.
Terhadap frasa "mengheningkan cipta" yang ganjil itu, seseorang bisa melakukan interpretasi. Ya, ini semacam menafsir baris-baris puisi. Ada risiko spekulatif. Berikut ini adalah salah satu tafsir atas "mengheningkan cipta".
Boleh jadi, sang pengubah frasa itu memaksudkan kata "cipta" sebagai "ciptaan Tuhan". Dengan demikian ajakan "mengheningkan cipta" adalah ajakan "merenungkan semesta ciptaan Ilahi".
Ketika seseorang dalam suasana batin "merenungkan ciptaan Ilahi", yang muncul tak lain adalah rasa syukur, rasa haru. Munculnya perasaan yang mendekati dimensi religius itu secara otomatis mendorong seseorang untuk berdialog dengan Sang Ilahi. Dialog paling lazim adalah mengucapkan doa-doa atau puji syukur.
Karena konteks upacara bendera adalah lahirnya fakta negara bangsa, yang diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh para pejuang kemerdekaan, logislah jika "mengheningkan cipta" itu diorientasikan bagi usaha mengenang kembali jasa dan pengorbanan para perintis dan pejuang kemerdekaan.
Di kalangan pengguna bahasa substandar, frasa janggal juga bertebaran. Salah satunya, yang cukup mutakhir adalah frasa yang terbentuk atas nomina dan ajektiva "banget".
Anda bisa menyusun frasa janggal dengan konstruksi demikian seperti: "Indonesia banget", "Pancasila banget", "LSM banget" dan seterusnya.
Frasa semacam itu dimaksudkan menciptakan suatu kata sifat dengan merujuk karakter atau watak paling kental dari nomina yang dipakai.
Ada juga yang mempersoalkan frasa-frasa berikut ini: "menanak nasi", "menggali lubang". Kata orang yang usil: "mestinya menanak beras, menggali tanah. Masak nasi ditanak. Masak lubang digali".
Jika frasa demikian dianggap ganjil, frasa "memasak rawon" pastilah janggal juga sebab "bukan rawon yang dimasak tapi daging beserta bumbu-bumbunya. Frasa "menjahit baju" juga jadi janggal sebab "yang dijahit adalah potongan-potongan kain untuk dijadikan baju".
Semua kejanggalan frasa di alinea atas itu bisa dinormalkan dengan mengganti verba spesifik tersebut dengan verba yang umum "membuat".
Jadi membuat nasi, membuat lobang, membuat rawon, membuat baju. Jika ini dilakukan, ungkapan jadi kehilangan tenaga khususnya, ketajamannya.
Memang ada paradok dalam pembentukan frasa-frasa janggal itu. Ketika verba yang khusus dipilih, munculnya pemaknaan yang terasa menyimpang dari yang dituju.
Namun, biarlah frasa-frasa janggal itu tetap tampil dengan keunikannya, tapi hanya dalam ungkapan keseharian dan bukan justru 'dibenarkan' dalam tiap tulisan jurnalis yang harusnya berlandaskan KBBI.
Kekayaan kosakata dan frasa seseorang secara umum dianggap merupakan gambaran dari intelijensia atau tingkat pendidikannya. Karenanya, banyak ujian standar seperti Scholastic Assessment Test (SAT), memberikan pertanyaan yang menguji kosakata.
Dan jurnalis harus memiliki tingkat intelijensia (kecerdasan) yang tinggi agar fungsinya benar-benar untuk mencerdaskan bangsa, bukan sebaliknya.
Oleh Fazar Muhardi
Refleksi SMSI Akhir Tahun 2024: Pilar Indonesia Emas 2045
RIAUBOOK.COM, JAKARTA - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyampaikan catatan akhir tahun 2024 dengan menyoroti kiprah Presiden Prabowo Subianto dalam…