Riau Book - Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan dan sumber daya alam atau Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bakal menggugat transparansi 'cost recovery' perusahaan migas salah satunya PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Selama lebih 90 tahun pengembalian biaya operasi dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi (cost recovery) Chevron dilakukan tertutup. "Dan ini menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat," kata Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Usman kepada pers di Pekanbaru akhir pekan lalu.
Tertutupnya 'cost recovery' oleh perusahaan migas menurut dia bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
Dalam UU itu, Pasal 3 poin a, menyebut bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha migas bertujuan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas minyak dan gas bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.
Namun dari data dan informasi yang diterima, sejak beberapa tahun belakangan hingga saat ini kegiatan hulu migas tidak lagi efesien atau tak berdaya guna sesuai keharusan yang tercantum dalam Pasal 3 UU Migas.
Kondisi sumur-sumur minyak di Riau yang tua tak lagi mampu menghasilkan minyak sehingga Chevron kemudian melakukan upaya optimal menggunakan teknologi surfaktan yang biaya operasinya menjadi berlipat ganda.
Tahun 2012, Chevron menginvestasikan lebih dari 160 juta dolar atau setara Rp1,92 triliun untuk penerapan teknologi tersebut yang masih dilaksanakan hingga saat ini. Namun hasil minyak yang meningkat justru tidak menguntungkan bagi hasil ke negara, informasinya justru menambah beban 'cost' pergantian biaya operasional yang terus membengkak.
Kondisi tersebut menurut data, diperparah dengan fokus kerja Chevron yang kini mengarah pada pemulihan tanah terpapar minyak (TTM) yang diungkap juga menggunakan 'cost recovery' senilai Rp12 triliun atau lebih besar dari APBD Provinsi Riau yang hanya Rp10 triliun, belum termasuk pemangkasan dana bagi hasil (DBH) migas.
Pantas Dibuka
Maka menurut Koordinator FITRA Riau, Usman, sepantasnya enam tahun jelang habisnya masa kontrak Chevron di Riau, perusahaan itu membuka secara rinci kemana saja aliran 'cost recovery'.
"Namun sayang, sejauh ini semangat pemerintah untuk membuka 'cost recovery' Chevron selama 90 tahun belum ada," katanya.
Padahal, lanjut dia, sejak lama dimana baru dimulainya revormasi, koalisi masyarakat sipil sudah melakukan desakan-desakan, baik itu desakan politik maupun desakan sosial kepada pemerintah dan perusahaan agar membuka aliran 'cost recovery' sekaligus membuka dana bagi hasil yang tercantum dalam dokumen kontrak.
Ia katakan, desakan dari masyarakat sipil bukan hanya dilakukan oleh FITRA, namun terdapat 30 organisasi yang tergabung dalam Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
"Karena memang untuk yang berkaitan dengan industri ekstraktif (tambang dan migas) mangacu pada satu standar global yakni ISO 26000 (The International Organization for Standardization) memang tidak bisa langsung lembaga tapi melalui koalisi yakni PWYP," katanya.
Menurut Usman, PWYP tugasnya memang mengawal atau mengawasi transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif (migas) di Indonesia.
Melewati 7 Presiden
Ketertutupan lebih 90 tahun pengembalian biaya operasi dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi (cost recovery) oleh Chevron tanpa disadari nyaris melewati kebijakan 7 presiden, mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saat ini, rencana revisi UU Migas yang diharapkan di dalamnya juga mengatur secara rinci tentang transparansi bagi hasil dan pengembalian biaya operasi juga masih tarik ulur dengan DPR, belum tuntas," katanya.
Menurut Usman, di era Megawati sejak lahirnya UU Migas yang baru tahun 2001, separuh transparansi migas mulai terlaksana, namun baru sebatas dokumen bagi hasil migas.
"Sekarang tinggal cost recovery yang terus terjadi tarik ulur, juga dapat dikatakan berada di ranah yang tak jelas atau abu-abu," katanya.
Usman mengatakan, sejauah ini masyarakat meraba, tidak tahu, apakah cost recovery diserahkan kepada negara secara utuh, atau masih ditahan oleh perusahaan, dan ini masih menjadi tanda tanya besar.
"Kami sejauh ini memang belum pernah melihat sejauh mana cost recovery yang masuk dalam APBN dan berapa kemudian yang digantikan dengan minyak. Inilah yang sejauh ini belum dibuka," katanya.
Bahkan di Sekretariat PWYP Indonesia, demikian Usman, 'cost recovery' masih debatable atau menjadi perdebatan, apakah bisa dibuka atau tidak.
Harusnya bisa dibuka, karena menurut dia, publik sebagai penerima manfaat sekaligus penerima dampak harus mengerti dan mengetahui tentang dana operasional yang dibebankan ke negara.
CSR Juga Cost Recovery?
Tidak transparan yang kemudian menurut Usman memunculkan berbagai kemungkinan, salah satuanya indikasi CSR dan dana communitty development (pengembangan masyarakat) yang disalurkan Chevron selama ini juga bersumber dari 'cost recovery'.
"Jika benar, maka ini sangat disayangkan," katanya.
Menurut dia, CSR harusnya disalurkan bukan lewat pengembalian uang negara, itu adalah bagian yang terpisahkan yang harusnya menjadi beban perusahaan, bukan negara.
Dalam Pasal 5 UU Migas, tidak disebutkan CSR masuk dalam kegiatan operasi yang dibebankan ke 'cost recovery'.
Pasal 5 UU Migas hanya menyebut bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri dari kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi.
Maka sepantasnya, kata Usman, masyarakat kemudian menuntut agar 'cost recovery' selama 90 tahun dibuka untuk umum, rakyat sebagai penerima manfaat sekaligus dampak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas berhak untuk mengetahuinya.
"Semuanya harus jelas, perusahaan harus membuka berapa pengembalian dana untuk operasi migas yang dibebankan ke negara selama 90 tahun ini," kata dia.
"Harus dirincikan, cost recovery digunakan untuk kegiatan apa saja," lanjut kata Usman.
Usman katakan, pihaknya juga ada rencana melakukan gugatan atas hal tersebut dan akan dibicarakan ke koalisi masyarakat sipil yakni Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
"Jika ada peluang untuk menggugat kegiatan cost recovery yang tertutup maka akan kami lakukan," demikian Usman. (RB/fzr)
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau
Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…