Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau/Pengelola UIR Press)
Pembicaraan mengenai hubungan Islam dan negara selalu menarik untuk disimak, terutama di Indonesia. Pembicaraan ini akan semakin memanas di saat memasuki musim politik. Baik musim pemilihan untuk tingkat nasional, maupun pemilihan tingkat lokal. Kental akan nuansa emosi dan nuansa politik adalah sebuah keniscayaan. Misalkan saja apa yang terjadi di Pilkada Jakarta hari ini yang nuansa pertarungannya seperti di musim Pilpres saja. Dari tiga pasangan calon yang telah ditetapkan KPU Jakarta, terdapat satu pasangan calon yang calon gubernurnya bukan beragama Islam.
Perbedaan agama ini ditanggapi secara berbeda, terutama di level elite. Sepanjang ini, saya mengamati, perbedaan itu biasanya tergantung calon yang mereka dukung. Biasanya lebih kepada kepentingan pragmatis. Satu waktu mereka mengatakan "A". Lain waktu beda lagi. Lucu memang. Memang lucu.
Terlepas itu semua, di satu pihak berpandangan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dan negara. Kata mereka Islam tidak berbicara politik. Yang penting calonnya baik, apapunlah agamanya. Argumentasi ini akan menjadi-jadi atau menyala-nyala mereka kobarkan ketika pasangan calon yang mereka dukung itu berasal dari agama lain, non-Islam.
Di pihak yang lain, bahwa Islam dan negara adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Pandangan ini akan mereka jadikan sebagai "pisau" untuk menyayat-nyayat pasangan lain yang tidak beragama Islam. Sehingga, pernyataan "pilihlah calon pemimpin yang beragama Islam" pun akan menjadi jualan di masa-masa kampanye. Tentu saja hal ini kemudian ditanggapi oleh pihak yang mendukung pasangan yang beragama non-Islam dengan basis argumentasi bahwa pandangan dan pernyataan ini adalah intoleransi. Ini bahaya untuk NKRI. Ini sudah menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Ini bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dan, juga mereka mengatakan bahwa ini negara Pancasila, bukan negara Islam.
Perbedaan pandangan kedua belah pihak ini perlu didudukkan pada tempat seharusnya. Bukan karena kepentingan politik pragmatis, menang-menangan semata. Bukan juga untuk ambisi pribadi, keluarga, kelompok, partai, dan/atau karena yang ambisi yang lainnya.
Ada beberapa catatan pengantar saya mengenai hubungan agama dan negara ini, terutama dalam konteks keindonesiaan tanpa mengurangi hakikat Islam sebagai agama yang berlaku bagi seluruh alam. Pertama, Nabi Muhammad diutus tidak hanya membawa risalah spritual tetapi juga risalah politik. Nabi tidak hanya berbicara shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah spritual lainnya. Nabi juga berbicara politik. Bukankah negara pertama kali di dunia adalah Negara Madinah. Ini bukti risalah politik yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Dalam negara Madinah tersebut, Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Konstitusi Madinah dijadikan sebagai landasan konstitusional dalam bernegara. Sedangkan Al-Qur'an dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum ketika itu.
Kedua, memisahkan Islam dari negara (politik) yang dikenal dengan istilah "sekulerisme", MUI telah memfatwakan bahwa hal itu adalah paham yang sesat. MUI adalah sekumpulan para ulama. Mereka itu adalah pewaris nabi. Fatwa mereka adalah Ijma'. Dan, Ijma' adalah salah satu sumber hukum dalam Islam. Karena sumber hukum Islam, ikutilah.
Begitu juga menarik untuk dibicarakan dalam hal ini berkaitan dengan salah satu buku yang menggoncangkan dunia bahkan masih menggoncangkan sampai saat ini adalah "100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia" karangan Michael H. Hart. Ia menempatkan Muhammad sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia. Padahal sang Penulis, tidaklah seorang Muslim. Alasan utamanya adalah, Muhammad tidak hanya membawa doktrin teologis, tetapi juga doktrin politis. Tentunya hal ini berbeda dengan Yesus yang hanya membawa doktrin teologis. Pada titik inilah kenapa Islam dan Kristen tidak akan pernah akur mengenai hubungan agama dan negara.
Ketiga, lakum dinukum waliyadin. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Sehingga, pernyataan bahwa, "pilihlah calon pemimpin yang beragama Islam", andaikata murni dalam hati mereka yang menyampaikan, dalam rangka dakwah, untuk tidak dipahami sebagai bentuk intoleransi oleh umat Islam terhadap umat yang lain. Sebab, ini adalah ajaran Islam, sehingga orang Islam yang taat tak bisa berbuat apa-apa. Dengar, ya taat. Ini bukan perkataan Presiden. Ini bukan perkataan Gubernur. Tapi, ini langsung Tuhan yang mengatakan.
Al-Qur'an Surat Al-Maaidah Ayat (51) menyebutkan bahwa: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim".
Begitu juga dengan orang Islam. Orang Islam jangan marah ketika ada orang non-Islam mengatakan, misalkan "jangan pilih orang Islam". Andaikata demikian, inilah toleransi yang sesungguhnya. Ini toleransi pada tempatnya. Ini indah. Sungguh.
Keempat, bersama tidak mesti sama walaupun kita sama-sama WNI. Setiap umat beragama untuk tidak menyamakan semua ajaran agama itu sama (pluralisme). Jangan samakan sesuatu yang tak sama. Bersamalah dengan sesuatu yang sama. Dalam hal tak sama, saling pengertian saja. Perbedaan adalah fitrah. Perbedaan adalah sunnatullah.
Andaikata Islam dan Kristen sama, maka tak akan mungkin orang Islam beribadah di Mesjid, dan orang Kristiani di Gereja. Begitu juga dengan orang Hindu, Budha, dan seterusnya. Termasuk perbedaan dalam memilih pemimpin, Islam punya aturan berbeda. Orang-orang yang beragama selain Islam mestilah menghormati ini. Bukankah Bhineka Tunggal Ika?
Kelima, memang Indonesia bukanlah negara Islam karena memang di dalam UUD 1945 tidak disebutkan Islam sebagai agama resmi negara. Kendatipun demikian, Indonesia juga bukanlah negara sekuler. Jadi jangan pula alergi dengan agama.
Mari kita tengok sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Begitu juga Pasal 29 Bab XI UUD 1945. Ayat (1) menyebutkan bahwa, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) menyebutkan bahwa, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Dengan demikian, agama dan negara, Islam dan negara, termasuk dalam konteks keindonesian tidaklah bisa dipisahkan. Sehingga pernyataan bahwa, "pilihlah calon pemimpin yang beragama Islam", pada hakikatnya adalah bentuk implementasi ketentuan agama Islam, yaitu Al-Qur'an Surat Al-Maaidah Ayat (51), dan juga ketentuan negara yaitu, sila pertama Pancasila dan Pasal 29 Bab XI UUD 1945 bagi orang Islam yang taat.****
Biodata Penulis:
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah Abituren Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat Cumlaude dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Sampai saat ini tercatat sebagai Anggota Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru dengan Nomor Indeks/Keanggotaan 628.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…