Riau Book - akarta di masa berjayanya media sosial adalah akuarium raksasa dengan lampu merkuri: semua kejadian dan cerita di dalamnya begitu terang terlihat dari seluruh penjuru negeri. Tapi ini era generasi yang lebih banyak membaca hanya yang melintas di linimasa.
Saat gubernur yang sedang cuti tengah diuber-uber bahkan ditolak di tempat yang hendak ia datangi berkampanye, dunia maya bersorak. Dan kita tahu, selanjutnya diskusi akan berakhir di wilayah agama. Dan saya tak hendak memasukinya.
Saya hanya ingin bercerita tentang sebuah masa di Jakarta, belasan tahun silam. Bahwa kisah gubernur yang dimusuhi bukan tentang Basuki semata.
Sutiyoso, seorang jenderal pun, pernah amat dinista. Dosanya amat berat, terutama untuk massa PDI Perjuangan. Mayjen Sutiyoso menjabat sebagai Pangdam Jaya dengan Brigjen Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala Staf Kodam, ketika peristiwa penyerbuan markas PDIP di Jalan Diponegoro terjadi, 27 Juli 1997. Massa pendukung PDI Surjadi dibantu aparat keamanan yang menyamar menyerbu kantor di kawasan elit Menteng yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Tapi saat maju di periode kedua jabatannya, Sutiyoso malah menjadi Gubernur Jakarta yang didukung Megawati -- keputusan yang ditangisi sebagian massa PDIP. Saat tengah menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan di Gedung DPRD DKI, 13 Agustus 2002, Sutiyoso disambut unjuk rasa besar di Jalan Kebon Sirih. Ribuan orang dari berbagai kelompok meneriakkan penolakan atas laporan pertanggungjawaban Sutiyoso. Sebagian dari mereka, anggota Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi) serta POB (Perhimpunan Orang Betawi), menuntut DPRD memilih gubernur asal Betawi. Sebagian lain adalah massa berkaus merah dengan lambang PDIP. Mereka tegas menolak Sutiyoso karena terkait kasus 27 Juli 1996.
Jalanan ditutup. Kapolda Metro Jaya Makbul Padmanegara datang dan mengamati suasana. "Saya yakin takkan ada apa-apa," katanya kepada wartawan.
Itu yang berupa unjuk rasa. Bagaimana dengan kekerasan fisik.
Yang ini tak ada kaitannya dengan Kudatuli. Pada Senin 3 Agustus 1999 tengah malam, rumah jabatan Gubernur DKI Jakarta di kelokan Jalan Untung Suropati dan Jalan Syamsu Rizal, Menteng, Jakarta Pusat dilempar dengan bom molotov yang sempat membakar pos penjagaan dekat pintu gerbang. Dari dua bom molotov yang dilemparkan seorang pria -- belakangan ditangkap, dan mengaku bernama Din -- ada satu yang meledak. Dalam kejadian ini, tidak ada korban jiwa.
Setahun kemudian, Kamis 16 November 2000, selepas isya, sebuah granat tangan meledak di garasi rumah jabatan itu. Untunglah, rumah Sutiyoso tengah sepi, anak dan istrinya masih berada di Semarang. Rumah itu hanya ditunggui seorang pembantu dan empat penjaga. Sang gubernur sendiri, malam itu tengah menghadiri jamuan makan malam dengan delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta Utara. Ia tiba di rumahnya yang telah ramai oleh warga, polisi dan wartawan, satu jam setelah kejadian.
Hanya Budi, teknisi listrik di rumah itu yang terluka di dahi sebelah kiri dan bahu kanan oleh pecahan kaca. Tapi dua mobil -- Toyota Corona dan sebuah jip Cherokee -- yang terparkir di garasi itu rusak, kaca-kacanya pecah, sebagian badan mobil ringsek. Genteng depan rumah ini juga porak-poranda. Dua ekor burung peliharaan sang gubernur di pekarangan juga mati dalam kandangnya yang hancur.
Siapa pelaku pelempar granat? Parsono, ajudan Sutiyoso yang berada di pos keamanan di sayap kiri rumah tidak sempat melihatnya. "Tau-tau ada ledakan di dekat garasi," kata Parsono. Ia menduga, granat itu dilemparkan dari luar pagar.
Sampai sekarang pun kejadian pelemparan granat ke rumah gubernur itu tak terungkap. Yang jelas, semenjak itu, pengamanan kawasan sekitar rumah jabatan Sutiyoso diperketat. Apalagi, ini kawasan penting: tak jauh dari kediaman mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, rumah Duta Besar Amerika Serikat, bertetangga langsung dengan rumah Dubes India dan beberapa rumah dari situ juga berdiam Duta Besar Inggris.
Oh ya, di depannya adalah Taman Suropati, saat itu jadi batas bagi para pengunjuk rasa yang hendak ke rumah mantan Presiden Soeharto di Cendana. Di pojok timur laut taman ini, terdapat sebuah pos polisi.
Sekadar cerita akhir pekan. Semoga damai beserta kita. Selamat siang.
(dikutip dari FB Bang Tomi Lebang https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209116270438523&id=1072002562)
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…