Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan Pengelola UIR Press)
Tak ada satu pun peristiwa yang terjadi, kecuali dengan seizin Allah. Dan, setiap peristiwa itu meninggalkan catatan. Termasuk aksi 4 November beberapa waktu yang lalu itu.
Ada beberapa catatan saya untuk aksi keagamaan yang lalu itu. Pertama, aksi 4 November tersebut bukanlah kebencian terhadap Ahok karena ia Kristen. Lihatlah Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmodi, Wali Kota Surakarta. Sama sekali tidak ada aksi berlebihan dari umat Islam. Padahal yang bersangkutan adalah kepala daerah yang terpilih di tengah mayoritas umat Islam. Ia bukan Islam. Ia beragama Katolik Roma.
Andaikata Ahok tidak mengatakan, bahwa: "Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, nggak pilih saya, ya kan dibohongi dengan Surat Al Maidah 51 macam-macam itu...", saya yakin tidak akan ada aksi 4 November yang begitu terstruktur, sistematis, dan masif tersebut. Kesimpulan saya adalah sulit untuk dibantah bahwa aksi 4 November tersebut berawal dari pernyatan Ahok itu sendiri, bukan ditunggangi kepentingan politik pragmatis karena Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kedua, umat ini hanya meminta penegakan hukum yang adil. Persoalan Ahok telah minta maaf, itu urusan lain. Maaf dan penegakan hukum adalah dua hal yang berbeda. Maaf ada tempatnya. Andaikata maaf tak pakai tempat, tentu saja tak akan ada yang namanya surga dan neraka. Contoh lain yang mudah kita cerna adalah, istri anda diperkosa oleh laki-laki lain. Ia meminta maaf. Apakah anda memaafkannya? Apakah anda diam saja? Apakah anda tidak menuntut ke jalur hukum agar yang bersangkutan dihukum seberat-beratnya? Saya yakin anda tidak akan diam saja. Terlebih lagi, aksi 4 November itu berkaitan dengan penodaan kitab suci Al-quran (agama). Dalam Islam, hukumannya adalah sangat keras.
Al-Maidah Ayat (33) menyebutkan bahwa: "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar".
Ketiga, menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat. Ke depannya agar pejabat publik di negeri ini berhati-hati di dalam mengeluarkan pernyataan. Terlebih lagi menyangkut agama. Tidak ada yang paling sensitif di dunia ini, kecuali agama. Orang yang jarang shalat, bahkan mungkin dua kali saja ia sholat dalam setahun, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Dan, itupun mungkin karena segan dengan mertua karena pulang kampung, ketika agamanya dihina orang, saya yakin ia akan marah. Apalagi dalam hal ini para ulama (MUI). Tentu saja sensitifitas mereka terhadap agama begitu terpelihara dengan baik. Buya hamka pernah mengatakan, "Jika diam agamamu dihina gantilah bajumu dengan kain kafan". Karena itu, lakum dinukum wa liyadin. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Sederhana bukan. Memang. Tapi sulit untuk dijalankan.
Keempat, tidak bijaksananya Jokowi dalam menyikapi aksi 4 November ini, baik ketika aksi sedang berlangsung, maupun setelah aksi tersebut. Ketika aksi sedang berlangsung, para pewakilan aksi yang diwakili oleh para ulama ingin bertemu dengan sang Presiden, tapi tak bisa. Presiden tidak lagi sedang di istana. Ia lebih memilih blusukan ke bandara Soekarno-Hatta untuk melihat proyek. Padahal ulama yang ingin bertemu. Kalaulah ulama tidak dihormati, atau lebih menghormati proyek, habislah republik ini. Bukankah ulama itu pewaris dari para nabi? Tragisnya, ketika para pelawak dan pendeta-pendeta dalam hal pembakaran masjid di Papua akhir tahun lalu, ia langsung menjamunya. Atau ketika pilpres, mengunjungi ulama, namun ketika terpilih, ulama yang berkunjung, ia pergi melihat proyek. Seperti tak ada waktu saja besok. Begitu juga setelah aksi. Sangat disayangkan ketika Presiden mengatakan bahwa ada aktor politik yang terlibat di balik aksi 4 November tersebut. Saya tak tahu, siapa yang membisikkan pernyataan itu kepada presiden.
Kelima, Jusuf Kalla kembali menunjukkan bahwa ia adalah "the real president". Bagaimana pula tidak, aksi yang begitu terstruktur, sistematis, dan masif itu, namun yang mengambil alih bukanlah presiden langsung, namun seorang wakil presiden. Memang presiden dan wakil presiden adalah satu paket (dwi tunggal), namun presiden tetaplah presiden. Dan, wakil presiden tetaplah seorang wakil presiden. Lagi-lagi, kembali kepiawaian Jusuf Kalla dalam berdiplomasi berperan penting dalam aksi 4 November itu.
Terakhir, keenam, ternyata umat ini juga bisa bersatu. Di Indonesia, umat Islam adalah mayoritas secara sosiologis. Sayangnya, umat Islam minoritas secara politik. Mudah-mudahan aksi 4 November lalu itu memberikan arti. Tidak hanya lagi mayoritas secara sosiologis, tapi juga mayoritas secara politik. Yakinlah, bahwa hanya dengan kekuatan politiklah Islam bisa tegak sempurna. Tiada lain maksudnya kecuali untuk menjaga Islam itu sendiri. Tanpa itu, umat islam ibarat buih di tangah lautan yang terombang ambing ke sana kemari seperti yang disebut Nabi Muhammad SAW. Salah satu caranya adalah umat Islam yang betul-betul Islam, mestilah punya media minimal di tingkat nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi pemberitaan dari media-media sekuler yang seringkali menyudutkan Islam, misalkan Islam agama terorislah, anarkis, tidak toleran, dan stigma negatif lainnya termasuk aksi 4 November yang lalu.****
Biodata
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang, Pekanbaru, 11 Maret 1990. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat cumlaude (2013) dalam waktu 13 bulan. Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelolah UIR Press. Alamat: Jl. Karya I (Belakang UIR), Perhentian Marpoyan Pekanbaru. No. hp: 0852 6576 2555.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…