Riau Book - Kisah kejujuran, seperti yang dilakukan Bung Hatta, rasanya sudah jadi barang langka hari-hari ini. Terutama mereka yang memangku kekuasan. Hampir saban bulan, kita disuguhi tentang berita korupsi. Menteri yang tadinya gagah wibawa dengan jas, dalam hitungan bulan tersuruk berseragam tahanan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dan hampir putus asa kita menyudahinya. Mereka datang dari rupa-rupa latar. Ahli politik, profesor, bankir terhormat, tokoh partai, para pesuruh kantoran hingga sopir yang duduk di balik kemudi. Orang lalu menyindir bahwa mencuri uang negara kini jadi "budaya" baru. Wajah kita rusak di muka dunia.
Tengok saja data Tranparency International berikut ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sungguh membuat kita memalingkan muka. Malu. Indonesia ada di peringkat 107 dari 175 negara pada tahun lalu.
Pada 2013, skor IPK Indonesia sebesar 32. Ini tak beranjak dari nilai IPK setahun sebelumnya.
Jika tak ingin malu, jangan berani membandingkan Indonesia dengan negara tetangga. Masih kalah jauh dari dua negara tetangga yakni, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat 7 dengan skor IPK 84. Malaysia berada pada peringkat 51 dengan skor 52. Skor Indonesia juga berada di bawah rata-rata skor negara-negara ASEAN, Asia Pasifik, dan G20.
Dadang Triasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) menegaskan bahwa skor IPK Indonesia tahun 2014 yang hanya naik dua digit dari tahun 2013, adalah bukti korupsi masih membudaya di Indonesia.
Hasil survei persepsi masyarakat terhadap integritas Pemilu yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2013 menyebutkan, 71 persen responden menilai praktik politik uang merupakan hal umum yang terjadi di Indonesia. Bahkan, 92 persen responden menyatakan pemimpin atau politisi tersangkut korupsi sudahlah umum terjadi di negeri yang diwariskan dengan budi adiluhung ini.
Dan kita bukannya tak pernah melawan para pencoleng itu. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah bersusah payah. Sudah ada 480 korupsi yang perkaranya berhasil dibuktikan di pengadilan. Orang-orang penting itu, yang tersangkut korupsi berkali-kali masuk televisi dengan wajah yang gagah, meski beberapa di antaranya cenderung menutup wajah dengan apa saja, termasuk ditutup dengan stensilan ketika disorot kamera wartawan.
***
Tapi di tengah perilaku sejumlah elit yang memalukan itu, seungguhnya kejujuran seperti yang dilakukan Bung Hatta itu masih hidup. Carilah ke orang-orang biasa. Di jajaran kepolisian, jajaran kejaksaan, kehakiman, para politisi dan masyarakat biasa.
Bacalah kisah tentang Kaharoeddin Datuk Rangkayi Basa ini. Seorang pensiunan polisi dengan bintang satu di pundak. Kejujurannya mengugah hati. Berkali-kali didatangi rekan sesama jenderal, Kaharoeddin tak bergeming menerima tawaran berangkat haji. Bukan tak mau memenuhi panggilan Allah, Kaharoeddin malu jika harus menggunakan uang negara.
"Malu kalau naik haji diuruskan Kapolri," jawab Kaharoeddin ketika bertemu Jenderal Amir Machmud dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan. Kaharoeddin memang jenderal langka. Hanya segelintir saja jenderal seperti ini yang terlahir di tanah Nusantara.
Tak cuma korp kepolisian yang gagal merayunya. Tawaran berkunjung ke Tanah Suci dari Bupati Tanah Datar dan Walikota Padang juga sempat ditolak Kaharoeddin. Janji tak ada uang negara yang dipakai, meluluhkan hati Kaharoeddin oleh ajakan dua pejabat yang menganggapnya sebagai orang tua itu.
Cari juga kejujuruan itu ke rakyat jelata. Dari kuli bangunan hingga tukang becak. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kejujuran menjadi barang langka bagi kelas masyarakat ini.
Kisah kejujuran muncul dari negeri Dubai, Uni Emirat Arab. Tanah di jazirah Arab yang pelan-pelan berubah menjadi kosmopolitan. Meninggalkan si miskin dan kaya dalam jurang yang makin lebar.
Shabbir Bahai Fakhr Al Deen begitu nama si kuli, adalah teladan bagi kisah kejujuran. Menemukan tas jinjing berkelir hitam yang tergeletak di pinggir jalan wilayah, Al Rashidiya, selatan Bandara Internasional Dubai menjadi bukti kejujuran Shabir.
Begitu resleting tas dibuka, Shabbir terkaget-kaget melihat tumpukan uang bernilai 50 ribu riyal. Jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 167 juta.
'Fulus kaget' itu rupanya tidak membuat Shabbir gelap mata. Meski tinggal kota kaya raya, di mana biaya hidup dan hedonisme kerap membuat orang permisif. Kekayaaan, kalau bisa, didapat dengan segala cara.
Tapi Shabbir menolak. Bukan cara seperti ini ia mendapatkan uang. Uang itu tak ditilep sepeser pun. Dia justru buru-buru mengembalikan uang tersebut ke polisi.
Cerita kejujuran juga datang dari Sinchuan, China. Seorang wanita pekerja biasa, Mu Ping, kaget karena mendadak saja rekeningnya bertambah 490 juta yuan atau Rp 1 triliun. Nanchong Commercial Bank tempatnya biasa menabung salah mentransfer.
Tapi Mu Ping tak gelap mata. Ketimbang menguras ATM, ia memilih mengembalikan uang salah transfer itu ke bank setempat. Hanya dalam 10 menit, uangnya kembali kempis.
Memang di zaman yang sudah begitu permisif dan materialis, Hatta, Brigjen Kaharoedddin, Shabbir dan Mu Ping adalah sedikit dari manusia langka. Kejujuran mereka membuat orang tergetar. Seraya berharap, teladan mereka akan menjadi pelajaran bagi kita semua.(dream)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…