RIAUBOOK.COM - Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologi akibat deforestasi masif.
Ekspansi tak terkendali perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan telah menghancurkan hutan tropis sebagai penyangga air dan pelindung Daerah Aliran Sungai (DAS). Ini diperparah dengan tata kelola lingkungan yang buruk serta kebijakan negara yang permisif terhadap pelaku pelanggaran kawasan hutan.
Riau sendiri berada dalam ancaman yang sama dan semakin nyata. Lebih dari separuh wilayah provinsi ini telah dikuasai industri ekstraktif: data olahan WALHI Riau menunjukkan 4,9 juta hektare (55,48%) lahan Riau telah beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit skala besar dan konsesi pertambangan. Lonjakan izin tambang baru terus mempercepat deforestasi serta merontokkan stabilitas ekosistem.
Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) WALHI Riau mencatat, sejak era perizinan masif dimulai tahun 1983, Riau telah kehilangan 5,37 juta hektare atau 59,73% tutupan hutan alamnya. Tingginya penguasaan lahan oleh industri ekstraktif berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang masif deforestasi menjadi bukti paling nyata.
Secara geografis, Riau adalah dataran rendah yang dilalui lima sungai besar — Siak, Kampar, Indragiri, Rokan, dan Kuantan — sehingga sangat rentan terhadap banjir. ketika musim hujan tiba. Kajian Risiko Bencana Nasional Riau 2022–2026 menyebutkan 12 dari 12 kabupaten/kota berada pada kelas risiko tinggi banjir. Ironisnya, hingga kini hanya Kabupaten Rokan Hulu yang menetapkan status siaga darurat hidrometeorologi.
Romes Irawan Putra, Ketua Badan Pengurus Kaliptra Andalas menjelaskan "Pemerintah harus bertindak cepat menghadapi ancaman darurat banjir, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan aliran sungai besar. Potensi banjir sangat tinggi jika curah hujan terus meningkat." tegas Romes.
Dia nambahkan, jika pemerintah pusat dan daerah tetap tutup mata terhadap ancaman nyata eksploitasi sumber daya alam, kehancuran peradaban Riau bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.
"Kita bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup dan masa depan anak-cucu kita — hari ini kita memilih: menjadi pewaris kehancuran atau penjaga harapan."
*Riau Harus Segera Bertindak*
Darwis Jon Viker, Dewan Daerah WALHI Riau menyebutkan kondisi hidrometeorologi di Pulau Sumatera saat ini berada pada fase ekstrem. Dua provinsi tetangga, Sumatera Barat dan Sumatera Utara, telah resmi berstatus darurat bencana. Curah hujan ekstrem terus meningkat, dan massa air dari hulu berpotensi meluncur ke Riau dalam waktu dekat. Di tengah ancaman nyata ini, minimnya langkah antisipasi pemerintah daerah merupakan bentuk pengabaian langsung terhadap mandat perlindungan warga.
"Pulau Sumatra sedang darurat bencana, dan Riau berada tepat di lingkaran bahaya yang sama. Lambannya pemerintah menetapkan status siaga darurat hanya akan memperbesar risiko serta meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian dan kerentanan yang tidak perlu," tegas Darwis.
Sebelumnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau resmi menetapkan status siaga darurat bencana hidrometeorologi.
Penetapan status tersebut sebagai bentuk antisipasi bencana yang terjadi di provinsi Riau karena saat ini sudah memasuki musim hujan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa dalam kondisi tidak terjadi bencana, pemerintah wajib melaksanakan perencanaan, pencegahan, pengurangan risiko, integrasi mitigasi dalam pembangunan, penegakan tata ruang, serta pendidikan kebencanaan.
Kerangka regulasi lain seperti PP No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Kepala BNPB No. 4/2008 tentang Pedoman RPB, PP No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta berbagai peraturan teknis tentang rehabilitasi hutan dan pengendalian kerusakan ekologis sebenarnya telah dengan jelas mengatur kewajiban pemerintah dalam mencegah, bukan hanya merespons.
Namun realitas di lapangan memperlihatkan bahwa kerangka kebijakan tersebut tidak dioperasionalkan dengan baik.
Riau bukan hanya menghadapi ancaman banjir dan longsor; masyarakat pesisir juga berhadapan dengan abrasi, penurunan muka tanah, dan banjir rob yang semakin parah akibat eksploitasi gambut dan kerusakan ekosistem pesisir.
Dalam catatan BPBD Riau Sepanjang tahun 2025 sekitar 1.000 ha hutan dan lahan di Provinsi Riau telah terbakar. Hal ini yang kemudian menyebabkan status bencana Riau meningkat dari tahun sebelumnya menjadi tanggap darurat karhutla pada Juli lalu.
Berdasarkan hasil analisis spasial WALHI Riau melalui satelit Aqua dan Terra dengan confidence level di atas 70% menunjukkan sepanjang periode 1 Mei s/d 2 Desember 2025 terdapat 434 titik panas yang tersebar di 9 kabupaten/kota Provinsi Riau dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Rokan Hilir menempati urutan teratas.
Meskipun berbagai regulasi telah tersedia, pemerintah masih menjadikan penanganan darurat sebagai pendekatan utama.
Pola seperti ini bukan hanya menyedot anggaran yang semakin besar, tetapi juga membiarkan akar masalah tetap utuh: kerusakan ekologis yang dibiarkan terjadi demi kepentingan industri ekstraktif.
Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Eko Yunanda, Direktur WALHI Riau, yang menyampaikan bahwa pemerintah provinsi seharusnya mengedepankan tindakan pencegahan dibanding mengandalkan tindakan reaktif.
"Selama pemerintah hanya menangani bencana setelah terjadi, biaya sosial dan ekologis akan terus meningkat. Tanpa evaluasi mendalam terhadap penyebab struktural seperti kerusakan DAS, deforestasi, dan ekspansi industri, bencana akan berulang dan bahkan semakin parah. Hingga hari ini tidak ada solusi nyata yang mencegah tragedi ekologis di Riau terjadi berulang kali," katanya.
Situasi darurat di Sumatra kata dia harus menjadi sirene keras bagi Pemerintah Provinsi Riau: kerusakan ekologis tidak mengenal batas administrasi. Tanpa tindakan cepat, tegas, dan berbasis pencegahan, Riau bukan sekadar berisiko diterjang bencana, melainkan akan kehilangan daya pulih ekologisnya secara permanen. Bencana hari ini adalah akibat langsung dari kebijakan yang bertahun-tahun mengorbankan lingkungan demi keuntungan korporasi.
"Selama negara tetap mempertahankan tata kelola pro-ekstraktif, masyarakat akan terus menjadi korban dari krisis ekologis yang sebenarnya bisa dicegah," kata dia. (rls)



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…