RIAUBOOK.COM - Permasalahan lingkungan muncul ketika daya tampung lingkungan tidak lagi seimbang, situasi ini mengakibatkan bencana di mana-mana seperti banjir yang dirasakan masyarakat Riau, demikian Akademisi dari Universitas Riau Rawa El Amady.

"Namun sayangnya, bencana banjir yang mendatangkan kesedihan ini justru sering dimanfaatkan sebagai objek politik bagi banyak politisi," kata Rawa El Amady lewat telekomunikasi, Minggu (14/1/2024).

Dia menjelaskan, seharusnya politisi dan pejabat pemerintahan mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan yang mendatangkan penderitaan bagi masyarakat, tidak cukup sekadar memberikan bantuan yang sesaat saja.

"Sepengetahuan saya meski saya bukan ahli lingkungan, bencana banjir yang terjadi di Riau dalam beberapa pekan terakhir akibat kerusakan lingkungan," kata Rawa El Amady.

Ketika daya tampung lingkungan tidak lagi seimbang antara ketersediaan lingkungan dengan beban yang ditampung, demikian Rawa, maka akan terjadi masalah-masalah lingkungan seperti yang terjadi hari ini.

Perlu dipahami, lanjut dia, di sejumlah wilayah Indonesia termasuk di Riau ada yang namanya siklus banjir sepuluh tahunan atau 25 tahunan.

Namun dulu, menurut Rawa siklus banjir yang terjadi tidak dibebani oleh masalah lingkungan termasuk terkait memipisnya hutan alam dan terus maraknya perambahan hutan untuk dijadikan perkebunan sawit.

"Jadi kalau perkiraan saya, sekarang ini terjadi banjir besar itu pertama karena siklus hujan besar bertemu dengan beban lingkungan yang tidak lagi seimbang," katanya.

Akibatnya, lanjut Rawa, banjir yang terjadi saat ini menjadi lebih besar dan lebih luas, bahkan di beberapa kawasan genangan air bertahan lebih lama.

"Saat ini kita tidak melihat lagi ada hutan yang cukup di Sumatera untuk menampung air hujan yang turun, sehingga memang ada masalah lingkungan yang serius karena kerusakan hutan, perkebunan sawit yang terus meluas dan ditambah beban pembangunan yang terus meningkat di wilayah perkotaan," kata dia.

Menurut Rawa, pemerintah sebaiknya melakukan penataan kembali atau bahkan menghutankan kawasan perkebunan sawit karena sudah menjadi beban lingkungan.

"Jangan sampai banjir yang terjadi di banyak wilayah Riau, terutama saat siklus sepuluh tahunan, justru hanya dimanfaatkan sebagai objek pilitik bagi politisi. Ini sangat disayangkan, karena yang dibutuhkan masyarakat adalah penyelesaian atas masalah yang mereka hadapi," katanya.

Ribuan Warga Mengungsi

Sebelumnya dilaporkan, jumlah korban banjir di Provinsi Riau yang mengungsi terus bertambah.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau hingga saat ini total warga Riau yang mengungsi akibat banjir sudah mencapai 6.467 jiwa.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, M. Edy Afrizal mengatakan, hingga saat ini tercatat baru di tiga daerah yang warganya terpaksa harus mengungsi, yakni Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai.

Sementara di kabupaten/kota lain meski terdampak banjir namun belum tercatat ada warganya yang mengungsi.

Sementara untuk kabupaten dengan jumlah pengungsi terbanyak ditemukan di Kabupaten Rokan Hilir, total ada 3.992 jiwa warga Rohil yang mengungsi akibat rumah terandam oleh banjir.

"Selain di Rohil, di Kabupaten Kepulauan Meranti juga banyak, ada 2.240 jiwa yang mengungsi," katanya.

Sisanya tersebar di sejumlah daerah, di antaranya di Kabupaten Bengkalis ada 191orang dan di Kota Dumai ada 44 orang.

Sejauh ini bencana banjir yang terjadi di Provinsi Riau berdampak pada 4.686 keluarga dan 18.744 jiwa warga, bahkan sudah menelan empat korban jiwa.

Tidak hanya itu, bencana banjir di Riau juga menyebabkan ribuan unit rumah dan fasilitas umum, seperti jalan, masjid dan sekolah ikut terendam banjir.

Total ada 29 sekolah SMA sederajat di Riau yang harus meliburkan siswa nya karena ruang kelasnya terendam air. Itu belum termasuk sekolah dasar dan menengah yang kewenangannya ada di masing-masing kabupaten kota. (fzr)

tags:

• Pekanbaru
• dumai
• rohil

Share