RIAUBOOK.COM - Lebih dari 90 tahun industri minyak bumi nusantara berada dalam 'cengkraman' Perusahaan Asing 'Standard Oil Company of California (Socal)', kini Chevron, yang telah melakukan eksplorasi dan pengeboran minyak bumi.
Dan lebih dari setengah abad, Chevron telah memproduksi lebih dari 12 miliar barel minyak dari lapangan-lapangan darat di Proviinsi Riau maupun lapangan-lapangan lepas pantai di Provinsi Kalimantan Timur.
Kini, sejak pertengahan 2021, cengkraman itu berhasil dilepas. Negara lewat badan usaha Pertamina Hulu bertekad melanjutkan 'estafet' pengelolaan industri minyak bumi dengan penuh harapan.
"Dan harapan itu harus benar-benar terwujud, Pertamina Hulu Rokan atau PHR harus berfungsi dengan baik dalam kerangka bisnis untuk kepentingan negara dan harus lepas dari anasir-anasir non bisnis," kata akademisi dari Universitas Riau, Firdaus kepada pers di Pekanbaru, Senin (28/11/2022).
Dalam menjalankan tugasnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), demikian Firdaus, PHR harus terbebas atau lepas dari 'cengkraman' politik yang dapat mengganggu keberlangsungan perusahaan itu.
"Maksudnya, biarkan BUMN itu bekerja dalam kerangka bisnis, kita boleh mengoreksi perusahaan itu jika perusahaan itu keluar dari koridor dia sebagai institusi bisnis," kata Firdaus.
Pemerintah dan masyarakat menurut dia memiliki harapan yang sama sederhana, yakni peralihan Chevron ke PHR akan berdampak positif terhadap bangsa dan negara, secara spesifik terhadap masyarakat Riau.
Patut diketahui, dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, pemerintah melibatkan peran serta daerah dan nasional, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 persen pada wilayah kerja minyak dan gas bumi.
Participating interest (PI) 10 persen adalah besaran maksimal 10 persen pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang wajib ditawarkan oleh kontraktor termasu PHR kepada BUMD.
Keterlibatan daerah dalam pengelolaan WK Migas melalui PI 10 persen memberikan banyak manfaat, antara lain memberikan keuntungan atau profit bagi BUMD yang akan menambah pendapatan daerah. Selain itu, memberikan pengetahuan, pengalaman BUMD dalam pengelolaan blok migas sebagai kontraktor.
Firdaus menjelaskan, bahwa prinsif dasar badan usaha itu (PHR) didirikan negara karena negara tidak bisa langsung berbisnis.
Maka menurut Firdaus, keberadaan badan usaha milik negara itu sejatinya adalah untuk menambah pendapatan negara.
"Jadi agar dia bisa menjalankan usaha untuk pendapatan negara, maka harus bebas dari anasir apapun kecuali untuk kepentingan menambah pendapatan negara," kata Firdaus.
Menurut dia, PHR harus mampu keluar dan bebas dari 'cengkraman' politik, termasuk terbebas dari gangguan-gangguan lainnya yang dapat merusak tujuan utamanya menambah pemasukan negara.
"Kalau dia (PHR) dimasukkan dalam wilayah-wilayah non bisnis, maka hal itu akan mengganggu tugas utamanya sebagai institusi bisnis yang menghasilkan keuangan bagi negara.
Jadi kita sebenarnya harus kembali pada prinsif dasar kenapa badan usaha itu didirkan, dia harus dibiarkan untuk menjadi badan usaha yang tidak bisa dibawa ke kiri ke kanan kecuali untuk kepentingan bisnis itu sendiri," kata Firdaus.
Dengan demikian, lanjut dia, adalah menjadi tanggungjawab bersama, semua pihak, untuk menjaga bagaimana agar PHR dapat menjalankan tugasnya sebagai BUMN yang menghasilkan keuntungan besar bagi negara.
"Kita yakin, karena PHR adalah perusahaan negara yang kepentingannya prakmatis adalah untuk negara. Hal ini berbeda dengan Chevron yang merupakan perusahaan asing dimana kepentingannya dominan untuk pemegang saham perusahaan itu," demikian Firdaus.
Produksi Meningkat
Dari data yang dirangkum, setahun pengelolaan hulu migas oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), produksi minyak Blok Rokan mengalami peningkatan menjadi 161 ribu barel oil per hari (MBOPD) dari sebelum alih kelola mencapai 158,7 MBOPD.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati dalam keterangan di Jakarta beberapa waktu lalu menyingkap, dalam satu tahun alih kelola, PHR berhasil melakukan 370 pengeboran atau lebih dari tiga kali lipat dari sebelumnya, yaitu 105 pengeboran sumur dengan eksekusi 15.000 kegiatan Work Over (WO) dan Well Intervention Well Services (WIWS) yang menyerap 60 persen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk menggerakkan perekonomian nasional.
Masifnya pengeboran tersebut, kata dia otomatis meningkatkan jumlah rig pengeboran aktif menjadi lebih dua kali lipat dari yang awalnya 9 menjadi 21 rig dan akan terus meningkat menjadi 27 rig hingga triwulan akhir 2022.
Nicke menjelaskan, pengeboran yang masif dan agresif tersebut menghasilkan peningkatan produksi migas dari rata-rata 158,7 MBOPD sebelum alih kelola menjadi 161 MBOPD saat ini.
"Volume cadangan pun meningkat dari 320,1 MMBOE pada awal transisi menjadi 370,2 MMBOE setelah satu tahun alih kelola," demikian Nicke. (fzr)
Refleksi SMSI Akhir Tahun 2024: Pilar Indonesia Emas 2045
RIAUBOOK.COM, JAKARTA - Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menyampaikan catatan akhir tahun 2024 dengan menyoroti kiprah Presiden Prabowo Subianto dalam…