RIAUBOOK.COM - Wacana memperpanjang masa jabatan presiden dengan alasan apapun akan menimbulkan potensi bahaya bagi keutuhan bangsa dan negara, demikian Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

"Konstitusi kita itu sudah jelas, presiden kita itu hanya boleh dua kali lewat pemilihan umum. Hanya 2 kali 5 tahun," kata Abdul Fickar kepada RiauBook.com lewat telekomunikasi, Senin (4/4/2022).

Dia mengatakan, konstitusi presiden 2 kali lima tahun yang dilaksanakan lewat pemilihan umum adalah keputusan bersama hasil reformasi bangsa.

"Berdasarkan masa lalu kita

ketika konstitusi belum diubah untuk pemilu 2 kali, itu terjadi kerusuhan yang memberi dampak besar bagi bangsa ini. Jadi belajarlah dari pengalaman, dan jangan sampai kita mundur ke belakang," kata Abdul Fickar.

Dia mengatakan, ketika zaman kepemimpinan Soekarno, saat itu konstitusi negara masih sangat lemah yang membolehkan presiden lebih dari dua kali lima tahun, maka terjadi pemberontakan.

Peristiwa G30S PKI menurut dia menjadi bukti kerusuhan negara yang mengorbankan jutaan jiwa, sumber masalahnya juga karena adanya isu perpanjangan masa jabatan presiden ketika itu hingga seumur hidup.

"Jadi ya begitu, kalau sudah diberikan kebebasan, maka akan menjadi kebablasan," katanya.

Kejadian serupa kata dia juga berulang di masa orde baru, ketika Soeharto kemudian secara terus menerus memimpin bangsa ini hingga 32 tahun.

Pada akhirnya, lanjut dia, kerusuhan besar juga terjadi pada tahun 1998 yang juga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit, kerugian ekonomi juga begitu besar.

"Butuh waktu dan proses yang lama bagi negara ini untuk memulihkan situasi ketika itu," katanya.

Maka, kata Abdul Fickar, konstitusi yang sudah disepakati bersama untuk presiden hanya boleh menjabat dua kali lima tahun, jangan pernah berani untuk mengubahnya.

"Atau jika itu terjadi, maka akan membawa negara ini dalam kemunduran dan bahkan bisa mengancam keutuhan negara dan bangsa," kata dia.

Wacana Luhut

Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya terbukti masih terus digulirkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).

Teranyar, Opung (panggilan LBP sebagai orang tua asal Sumut) mengklaim ada 110 juta netizen yang mendukung Pemilu 2024 ditunda.

Opung menyatakan pihaknya menyimpan big data (mahadata) berisi data 110 juta netizen yang menginginkan kondisi sosial-politik tenang tanpa gaduh Pemilu dengan melanjutkan masa jabatan presiden tanpa pemilihan.

Dia kumpulkan data 110 juta netizen itu dari berbagai platform media sosial yang disampaikan saat berbicara di acara kanal YouTube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3/2022).

"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.

Pernyataan Luhut menuai reaksi keras dari sejumlah pihak, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan ungkapan Opung melanggar Pasal 11 ayat (1) huruf f UU RI yang secara tegas menyatakan bahwa informasi yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan terbuka untuk umum harus dapat dijelaskan kepada masyarakat.

Namun menurut dia, LBP sejauh ini belum mampu untuk membuktikan pernyataannya soal big data 110 juta rakyat yang katanya mendukung perpanjangan masa jabatan presiden.

Akibat manuver Luhut yang dianggap membahayakan, sejumlah pihak pun meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Opung dari susunan Kabinet Indonesia Maju. (fzr)