RIAUBOOK.COM - Koalisi Orang Muda Riau menggelar aksi di kawasan car free day (CFD) di depan Kantor Gubernur Riau pada Minggu 16 November 2025.
Aksi ini merupakan bagian dari aksi global yang dilakukan di berbagai negara menolak solusi palsu yang ditawarkan forum Conference of the Parties United Nations Framework Convention on Climate Change (COP UNFCCC) ke-30 di Balem, Brasil.
Aksi ini mendesak para pemimpin negara, termasuk Indonesia menaruh kepentingan rakyat dan mendorong penyelesaian masalah krisis iklim dari akarnya.
Aksi ini diikuti oleh kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok orang muda lainnya yang terdiri dari Mapala Humendala, Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riau, Sahabat Puan, KPA EMC2, Mahasiswa UNRI, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Riau, Formasi Disabilitas, WALHI Riau, Extinction Rebellion (XR) Riau dan YLBHI-LBH Pekanbaru.
Peserta aksi menyerukan tuntutan keadilan iklim melalaui poster, payung, dan spanduk yang bertuliskan "Bersama Pulihkan Riau". Selain itu, aksi ini juga mengajak masyarakat berpartisipasi dalam aksi melalui permainan ular tangga "Pulihkan Riau" yang berisi kondisi lingkungan Riau saat ini dan ajakan menyerukan tuntutan keadilan iklim.
Rezki Andika, staf Kajian dan Pemantauan WALHI Riau mengatakan Pemerintah tidak serius melindungi hak rakyat Indonesia yang terancam krisis iklim. Tidak ada solusi nyata yang disampaikan pemerintah dalam forum COP-30.
Perdagangan karbon sebagai solusi menekan laju krisis iklim hanyalah bualan belaka karena dinilai tidak menyasar akar persoalan dan tetap melanggengkan kerusakan yang dilakukan industri ekstraktif dan berupaya menghapus dosa iklim mereka selagi masih mampu membeli karbon di "pasar".
"Indonesia semakin mundur dalam upaya melindungi rakyat dari krisis iklim. Demi ambisi pertumbuhan ekonomi 8% target puncak emisi yang seharusnya pada 2030 mundur tujuh menjadi 2037.
Selain itu, komitmen pensiun dini energi fosil juga tidak dijalankan Pemerintah dengan menerbitkan dua izin tambang batu bara tahun 2025 di Riau," ujar Rezki.
Yanda Rahmanto, Laskar Penggiat Ekowisata menilai komitmen pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat adat seluas 1,4 juta hektar empat tahun ke depan seperti yang disampaikan Hashim Djojohadikusumo melalui pidatonya dalam forum Belem Climate Summit di Brasil 7 November 2025 lalu harus dipertanyakan.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada laman GoKUPS, capaian Hutan Adat hanya sebesar 1,49% dari total capaian Perhutanan Sosial (PS).
Rendahnya penetapan Hutan Adat juga dipengaruhi ketidakseriusan Pemerintah menerbitkan kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA). Sebab pengakuan MHA melalui kebijakan Pemerintah merupakan salah satu syarat pengajuan Hutan Adat.
"Usulan Hutan Adat Kedatuan Menaro Sati di Desa Cipang Kanan, Kabupaten Rokan Hulu merupakan dasar kita mempertanyakan komitmen ini. Usulan ini tidak diproses karena belum adanya pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat Kedatuan Menaro Sati dan wilayahnya.
Jika komitmen tersebut bukan hanya sekadar gimik, Pemerintah harus segera menerbitkan kebijakan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat Kedatuan Menaro Sati dan seluruh wilayahnya serta menetapkan usulan Hutan Adat Kedatuan Menaro Sati," ucap Yanda.
Rini, perwakilan Himpunan Wanita Disabilitas Provinsi Riau menyebut akses dan fasilitas yang terbatas dan tidak layak memperparah kondisi krisis iklim yang dihadapi kelompok disabilitas. Terlebih perempuan disabilitas yang menghadapi beban berlipat ganda karena perempuan dan disabilitasnya.
"Seharusnya Pemerintah menyediakan fasilitas yang layak bagi kelompok disabilitas seperti transportasi dan fasilitas umum lainnya. Kemudian dalam penerbitan kebijakan harus memberikan ruang dan perlakuan yang adil bagi kami sehingga menghasilkan kebijakan adil dan inklusif," ujar Rini.
Sartika Dewi perwakilan komunitas Sahabat Puan Riau mengingatkan masyarakat Riau khususnya kelompok perempuan untuk terus mendesak Pemerintah menjadikan isu iklim sebagai prioritas dalam penyusunan kebijakan, dan tidak lagi meninggalkan perempuan, disabilitas serta kelompok rentan lainnya dalam penyusunan kebijakan.
Dampak krisis iklim mengakibatkan petani gagal panen yang mengakibatkan harga pangan melonjak, perubahan cuaca berdampak pada hasil tangkap nelayan kian menurun, pasang keling di pesisir Riau yang semakin meningkat memperburuk kondisi perempuan pesisir. Selain itu kebijakan tata kelola yang buruk memperparah kondisi banjir di Pekanbaru dan beberapa daerah lainnya di Riau.
"Kekeringan, cuaca ekstrem, hingga banjir merupakan dampak buruk yang sangat nyata kita rasakan saat ini. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka kita akan mewariskan lingkungan yang buruk bagi generasi berikutnya.
Hal ini dapat dimulai dengan menerbitkan mengedepankan perlindungan hak rakyat dan mengevaluasi kebijakan seperti tata kelola perkotaan, fasilitas pelayanan dasar, dan pengelolaan sampah hingga pembatasan plastik sekali pakai," demikian Tika. (rls)



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…