SALAH satu alasan utama mengapa perusahaan kelapa sawit dan investor berbasis sumber daya lainnya begitu sering berhasil menggusur rakyat dari tanah kelahiran mereka, adalah karena hukum Indonesia menawarkan pengakuan hak atas tanah yang sangat terbatas.

Profesor Ward Berenschot dalam bukunya berjudul; 'Kehampaan Hak: Masyarakat versus Perusahaan Sawit di Indonesia' pada halaman 42 menjelaskan, pengakuan yang lemah atas hak tanah itu adalah 'puing-puing imperium' (imperial debris) yang dapat dirunut kembali pada konsep dari 150 tahun lalu yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda, dengan istilah 'domein verklaring'.

Ward menjelaskan, dalam undang-undang agraria tahun 1870, para penguasa kolonial menyatakan bahwa 'semua tanah yang tidak dimiliki dengan bukti kepemilikan, akan dianggap sebagai domain negara.

'Deklarasi domain' ini menggerogoti hak tanah adat dan memungkinkan pemerintah kolonial Belanda untuk mengklaim kepemilikan sebagian besar tanah di Jawa dan kemudian berlanjut di luar Jawa.

Hal itu yang kemudian menurut dia, memberi ruang bagi perusahaan perkebunan dan pertambangan Eropa dan Asia mendapatkan akses murah untuk pengelolaan tanah.

"Setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, negara Indonesia mempertahankan warisan kolonial ini," katanya.

Ward mengatakan, UU Dasar 1945 maupun UU Pokok Agraria 1960 memang mengakui hak warga negara dan hak ulayat atas tanah dan kekayaan alam.

"Namun dengan mempercayakan kepada negara (hak menguasai negara) atas tanah, undang-undang memberi kontrol kepada negara atas tanah dan membatasi kepemilikan tanah perorangan," kata dia.

Prinsip ini kata Ward, juga dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang kehutanan yang diadopsi oleh rezim otoriter Soeharto pada tahun 1967.

"Undang-undang itu menetapkan 143 juta hektare atau hampir 75 persen wilayah Indonesia, sebagai kawasan hutan yang sebagian besarnya tidak dapat dimiliki perorangan," kata Ward.

Miris, karena menurut dia, meskipun berbagai upaya reformasi telah dilakukan, undang-undang tersebut tetap berlaku.

"Saat ini negara masih menetapkan sekitar 63 persen wilayahnya sebagai hutan," katanya.

Sebagian besar 'hutan politik' ini sebenarnya bukan hutan, tetapi sebuah kategori administratif untuk mempertahankan kontrol negara dan elite penguasa atas tanah.

Besambung....

Oleh Fazar Muhardi