RIAUBOOK.COM - Ketika sekelompok kecil elite pengusaha-cum-politisi seperti Aburizal Bakri, Surya Paloh, Sandiaga Uno dan Erick Thohir mendominasi politik baik di tingkat nasional maupun lokal, istilah oligarki lambat laun menjadi istilah yang sering digunakan untuk melukiskan demokrasi Indonesia.

Hubungan ini juga membentuk karakter parlemen Indonesia, seperti yang terurai dalam buku; 'Kehampaan Hak', bahwa 262 dari 574 anggota DPR memegang posisi manajemen atau berbagai kepemilikan atas perusahaan sumber daya alam seperti perusahaan perkebunan sawit.

Sebuah studi yang dilakukan koalisi LSM Bersihkan Indonesia menemukan bahwa 57 persen anggota komite dan gugus tugas yang menyusun undang-undang Omnibus memiliki atau menduduki posisi puncak dalam perusahaan berbasis SDA.

Profesor Ward Berenschot dalam bukunya mengungkap, ketua gugus tugas UU Omnibus adalah Rosan Roeslan yang sebelumnya juga Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN.

Rosan terhubung dengan 36 perusahaan, antara lain disektor pertambangan batubara, minyak dan gas yang kemudian memungkinkan perpaduan kekuatan ekonomi dan politik ini akan memengaruhi proses pembuatan kebijakan.

"Relasi bisnis-politik yang sangat kolusif tidak hanya melahirkan peraturan baru yang berpihak pada kepentingan bisnis, tetapi juga memfasilitasi penghindaran peraturan dan dengan demikian melemahkan pemerintahan serta supermasi hukum," tulis Profesor Ward Berenschot.

Dia menyimpulkan, garis politik yang selaras dengan oligarki tersebut memberi kontribusi besar terhadap kehampaan hak yang diderita masyarakat perdesaan di Indonesia.

Sementara negara-negara di seluruh dunia berjuang keras untuk meraih citra negara ideal-tipical (weberian), dan ini tampaknya amat jauh dari Indonesia.

Bersambung....