ALKISAH sebuah negeri yangterletak di antara benua Asia dan benua Australia/Oseania, di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, bernama Indonesia.
Di dalam negeri tersebut terdapat bangsa beragam suku, ras dan agama. Alamnya kaya raya harusnya menjadi sumber kehidupan tiada tara.
Sejarah Nusantara (1800-1942) pada masa Hindia Belanda mencatat Indonesia merupakan negara agraris, yang artinya sektor pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.
Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup bekerja dalam sektor pertanian sejak saat itu, mungkin hingga sekarang.
Sebagai negara agraris, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah ditambah posisi Indonesia yang dinilai sangat strategis, dalam 'dekapan' katulistiwa.
Dilihat darisisi geografis, Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi. Kondisi ini yang membuat Indonesia memiliki lahan yang subur danbanyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dengan cepat.
Zaman Soekarno
Diera Presiden Soekarno, sekitar tahun 1950-an, pemerintah sempat berupaya meningkatkan produksi pertanian hingga ke target swasembada pangan.
Sejumlah program pertanian digagas, hingga Indonesia mampu menyuplai kebutuhan beras ke sejumlah negara khususnya India yang saat itu mengalami krisis pangan.
Namun sayang, diakhir tahun 1950-an, harga beras di nusantara justru meroket karena produksi beras mengalami penurunan.
Saat itu krisis pangan mulai menghantui stabilitas politik dan hingga akhirnya negara bergantung pada impor.
Zaman itu, tanah agraris belum mengenal kelapa sawit.
Zaman Soeharto
Masuk pada era kepemimpin Presiden Soeharto, sektor pertanian nusantara kembali bangkit.
Bahkan ketika itu, Indonesia disebut mampu memberikan bantuan pangan pada penduduk kelaparan dunia. Kejadian ini berlangsung sewaktu Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984.
Dikutip dari buku otobiografi 'Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya', Soeharto mengungkapkan bahwa petani Indonesia memberikan bantuan secara gotong-royong dan sukarela sebesar 100.000 ton gabah untuk petani miskin dunia.
Menurut Soeharto, para petani Indonesia memintanya menyerahkan gabah itu ke Food and Agricultural Organization (FAO) untuk kemudian diteruskan ke saudara-saudaranya dengan keluarga yang mengalami kelaparan di berbagai kawasan, khususnya di Benua Afrika.
Sayangnya kejayaan itu hanya sementara. Negara agraris di era Soeharto kemudian mengembangkan sektor pertanian ke tanaman baru yang menjanjikan.
Trans AD Kebangkitan Sawit
Soeharto sepertinya sudah mempersiapkan kejayaan baru nusantara di masa depan. Dia melaklasanakan program transmigrasi yang begitu popular di era Orde Baru, tepatnya ditahun 1970an.
Kala itu, pemerintah meyakini program ininstrategis sebagai upaya pemerataan penduduk, peningkatan produksi pertanian, dan keamanan negara.
Program transmigrasi terus berlanjut hingga tahun 1980an, masyarakat Pulau Jawa menjadi target program tersebut dan disebar ke sejumlah wilayah tanah air, Kalimantan, Sulawesi, Papua hingga Sumatera.
Pengembangan tanaman kelapa sawit mulai digencarkan Soeharto dalam program transmigrasi. Jutaan hektare lahan di sejumlah wilayah itu dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dalam program tersebut, masing-masing keluarga transmigrasi diberikan jatah lahan seluas 2 hektare dan diasuh oleh 'bapak angkat' yang merupakan perusahan milik negara.
Sejak dimulainya program transmigrasi, perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meluas dan berkembang, bahkan mulai memberi dampak positif bagi perekonomian rakyat dan negara.
Data pemerintah menyebut, saat ini luas areal perkebunankelapa sawitdi Tanah Air selama 2017 - 2022 mengalami tren yang meningkat.
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, luas perkebunan kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Luas perkebunan tersebut naik 1,5 hektare dibanding tahun sebelumnya yang seluas 1,48 juta ha.
Namun disayangkan, dari 15,08 juta ha luas lahan perkebunan sawit di Indonesia, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8 persen).
Sementara Perkebunan Rakyat (PR) hanya seluas 6,08 juta ha (40,34 persen) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84 persen).
Kementan juga mencatat, jumlah produksi kelapa sawit nasional sebesar 49,7 juta ton pada 2021. Angka tersebut naik 2,9 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 48,3 juta ton.
Areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Provinsi Riau memiliki areal perkebunan kelapa sawit terluas dengan 2,89 juta ha pada 2021 atau19,16 persen dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di negeri ini.
Pengembangan perkebunan sawit yang begitu signifikan menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar di dunia dalam produksi minyak mentah sawit (CPO) mengalahkan Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.
Tragis Negara Agraris
Namun sayangnya, luasnya lahan perkebunan sawit ternyata tidak menjamin kesejahteraan bangsa Indonesia.
Di saat negara-negara penghasil sawit dan para oligarki tengah menikmati melonjaknya harga minyak mentah (CPO) dunia, para petani dan rakyat Indonesia justru menderita.
Petaka itu dimulai saat PresidenJoko Wododo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan Indonesia akan menutup kran ekspor minyak goreng dan turunannya.
"Pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022 sampai batas waktu yang ditentukan," demikian petikan pernyataan Jokowi ketika itu.
Spontan pernyataan itu membuat heboh sejumlah negara yang bergantung kebutuhan CPO Indonesia. Sejumlah pengamat memprediksi kebijakan Jokowi menyebabkan harga CPO dan minyak goreng global bakal naik signifikan.
Harapan sebaliknya, harga minyak goreng dalam negeri akan drastis menurun ternyata tidak terjadi. Malah situasinya diperburuk dengan harga tandan buah segar (TBS) dan CPO yang turut merosot.
Lebih dua bulan nasib petani sawit nusantara seperti terombang-ambing, harga buah sawit terus anjlok bahkan hingga level terendah menembus angka Rp700 / kilogram.
Di sejumlah wilayah bahkan sejumlan petani memilih membiarkan buah sawitnya membusuk karena tidak lagi mendatangkan keuntungan.
Presiden sempat menugaskan para pembantunya untuk mengatasi masalah itu seiring dibukanya kran ekspor CPO.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan itu. Janji Jokowi dalam dua pekan persoalan mahalnya minyak goreng dan jatuhnya harga buah sawit akan terselesaikan.
Sayang, faktanya telah lebih dua bulan LBP terbukti tidak mampu mengatasi masalah itu. Sementara para pembantu Jokowi lainnya sibuk kampanye Capres 2024 di tengah penderitaan rakyat yang sekarat.
Tragis nasib bangsa di tangan para jenaka.
Oleh Fazar Muhardi
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…