TSUNAMI politik kini melanda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai berhaluanahlussunnah wal jamaahitu pasalnya tengah menghadapi situasi pelik yang kemungkinan akan gagal meraih dukungan penuh mayoritas pendukungnya yang berasal dari kalangan nahdliyin.
Kisruh antara ketua umum partai, Muhaimin Iskandar atau karib disapa Cak Imin dengan para petinggi ormas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tak pelak, jadi sumber penyebab di balik masalah serius yang dihadapi partai berlogo bola dunia dikelilingi sembilan bintang itu.
Kondisi ketidakharmonisan PBNU dan PKB ini tentu tidak sekadar rumor jelang Pemilu 2024. Percekcokan di antara ketum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staqufalias Gus Yahya dengan Cak Imin, misalnya, belum lama ini sempat terjadi terkait klaim dukungan NU.
Berawal dari aksi pamer Cak Imin melalui kaus bertuliskan 'NU Kultural Wajib Ber-PKB, Struktural Sakarepmu'.
Sontak, hal itu membuat sejumlah petinggi PBNU pun turut bereaksi, termasuk Gus Yahya. Tanpa tedeng aling-aling, Gus Yahya pun mengatakan bahwa warga NU tidak berkewajiban mendukung PKB, terlepas tarikan historis soal kelahiran PKB yang dibidani para pengurus PBNU.
Ia bahkan tegas mengatakan NU tidak boleh menjadi alat politik PKB. "Sekali lagi tidak boleh lalu NU ini jadi alat dari PKB atau dikooptasi dengan PKB," demikian kata Gus Yahya, dilansir dariCNNIndonesia,Rabu, 29 Desemberi 2021.
Imbas dari pertengkaran ini membuat peta dukungan PKB di level basis dipastikan mengalami ketergerusan hebat. Lantas, ke mana suara NU akan berlabuh?
Game Changer
Pertanyaan, lalu ke mana berlabuh dukungan kaum nahdliyin usai tercerabut dari PKB, adalah pertanyaan menarik yang perlu diulas secara serius.
Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan tersebut, kita perlu mengenal lebih jauh siapa yang bakal berpeluang menjadigame changer(penentu permainan) dalam persoalan ini.
Dan, iya, penentu permainannya sudah pasti ada pada PBNU sebagai kendali ormas. Mengapa PBNU (ormas) dan bukan PKB?
Publik tentu sudah paham perbedaan antara ormas NU dan PKB, meski keduanya tidak bisa dilepas-pisahkan.
Baik ormas NU maupun PKB, keduanya sama-sama hanyalah sarana bagi warga nahdliyin dalam mengaktualisasikan cita-cita kemaslahatan.
Kendati demikian, keduanya berbeda dalam hal tugas dan perannya. Jika PKB didirikan dengan maksud menjadi instrumen politik untuk mengakomodir aspirasi nahdliyin melalui saluran politik formal (legislatif dan eksekutif), maka ormas NU lebih pada mengakomodir kepentingan kaum nahdliyin pada wilayah sosio-kultural.
Di samping perbedaan soal tugas dan peranan, juga terdapat perbedaan lainnya yang tidak kalah penting yakni soal kedudukan.
Untuk memahami itu cukup dibuatkan analogi sederhana bahwa setiap warga nahdliyin yang ber-PKB (menjadi bagian dari pengurus ataupun anggota partai) sudah pasti ber-NU (entah sebagai pengurus ormas ataupun hanya sebatas anggota biasa).
Sebaliknya, tidak semua warga NU adalah pengurus ataupun anggota partai. Hanya mereka yang mau menjadi pengurus atau masuk menjadi anggota partai yang boleh disebut bagian integral dan atau organik dengan PKB.
Sampai di sini sudah bisa dipahami bahwa baik ormas NU maupun PKB tidak hanya berbeda secara tugas dan peranan, tapi juga pada aspek kedudukan.
Karena itu, bisa dibuatkan konklusi sederhana bahwa setiap warga nahdlilyin yang ber-PKB sudah pasti ber-NU, namun tidak semua yang ber-NU juga ber-PKB.
Perlu juga dicatat, bahwa eksistensi dan keberlangsungan PKB sejauh ini memang ditopang suara kaum nahdliyin.
Tanpa dukungan suara NU, PKB kemungkinan hanya menjadi partai penggembira elektoral yang bakal kesulitan bersaing dengan partai-partai mapan lainnya.
Atas alasan itu pula, kekhawatiran tidak saja dirasakan ketua partai, Cak Imin, tapi juga seluruh pengurus PKB di tengah badai perseteruan dengan PBNU yang notabene menjadi pengendali utama suara NU.
Sebagaigame changer,PBNU kini bisa dikatakan berada di atas angin melalui pengaruh kuat sejumlah tokoh sentralnya, termasuk salah satu di antaranya yakni sosok K.H. Miftachul Akhyar yang kini menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais 'Aam PBNU.
Berkat ketokohannya, kiai kharismatik asal Kediri itu bahkan bisa dengan mudah mengubah arah dukungan NU. Dan, tidak menutup kemungkinan perubahan arah dukungan itu akan terjadi setelah menyaksikan situasi PBNU-PKB saat ini.
Migrasi Dukungan ke PPP?
Dengan membaca ragam indikasi seputar kisruh PBNU-PKB jelang kontestasi pemilu, maka pertanyaannya bukan lagi tentang apakah suara NU tetap bertahan atau bermigrasi, melainkan akan berpindah ke mana?
Apakah faktor ketokohan PBNU mampu mengalihkan dukungan warga nahdliyin sesuai yang mereka kehendaki?
Lori Q. Yue dalamCommunity Constraints on the Efficacy of Elite Mobilization,menyebut, salah satu faktor keberhasilan elite dalam memobilisasi dukungan massa bargantung pada faktor budaya dan struktural.
Ia melanjutkan, kemampuan kedua faktor dalam membentuk makna kolektif dan identitas bersama memungkinkan para pendukung ikut dalam arus mobilisasi mereka.
Menariknya, kedua faktor kultural (ketokohan) dan struktural melekat kuat pada sebagian besar tokoh-tokoh NU yang berada di lingkaran kepengurusan PBNU hari ini. Lantas, partai mana yang berpeluang mendulang migrasi suara tersebut?
Dari sejumlah informasi yang berhasil dihimpun, arah migrasi dukungan NU akan tertuju pada Partai Persatua Pembangunan (PPP).
Eksodus suara dari PKB ke partai berlambang Ka'bah ini bukan tanpa alasan. Ringkasnya, terdapat ikatan historis cukup kuat antara warga nahdliyin dengan partai warisan orde baru ini.
Faktor historis inilah yang membedakan PPP dari partai Islam lainnya yang muncul belakangan. Dengan kata lain, sebelum terbentuk PKB, PPP merupakan salah satu wadah saluran politik kaum nahdliyin.
Dengan begitu, PPP besar kemungkinan akan menjadi pelabuhan pertama yang akan dituju para pendukung NU setelah bermigrasi dari PKB.
Di samping ikatan historis antara PPP dengan warga NU, kedekatan antara sejumlah tokoh terkemuka PBNU dengan pengurus PPP juga patut dijadikan tolok ukur berikutnya.
Kelekatan hubungan antara keduanya dapat terlihat melalui serentetan agenda silaturahmi yang berlangsung intesif selang beberapa waktu terakhir.
Apalagi, sinyal bergesernya suara NU ke PPP ini juga diperkuat pernyataan Gus Yahya yang mempersilakan partai tersebut untuk menambang suara nahdliyin untuk Pemilu mendatang (5/05/22, jateng.nu.or.id).
Tidak hanya itu, sebagian besar pimpinan daerah PPP juga diisi para tokoh muda NU mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat hingga daerah-daerah lain.
Dengan memahami berbagai indikasi yang ada, bukan tidak mungkin PPP akan panen dukungan akibat beralihnya suara NU dari PKB.
Juga perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan antara NU sekarang dengan sebelumnya. Jika sebelum-sebelumnya NU identik dengan PKB atau paling tidak PKB adalah satu-satunya kanal politik yang menjadi representasi kaum nahdliyin, maka kini kondisinya mulai berubah.
PKB tidak lagi menjadi satu-satunya medium politik NU. Warga nahdliyin sekarang lebih bebas menentukan hak dukungan kepada siapa atau partai mana yang dinilai lebih representatif.
Kondisi ini tentu membawa suasana baru dalam semangat partisipasi politik warga NU yang lebih terbuka dan fleksibel.
Namun, di saat bersamaan menjadi tantangan bahkan ancaman bagi PKB itu sendiri yang secara otomatis akan kehilangan basis konstituennya.
Dengan demikian, akankah suasana baru ini sekaligus menjadi petanda berakhirnya masa jaya PKB? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.
*Penulis: Harsam (Research Director of IndoNarator)
SMSI Minta Presiden Terbitkan Perpu UU Kedaulatan Digital Pengganti UU ITE
RIAUBOOK.COM - INI cerita tentang ibu bernama Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang berusaha menyelamatkan hidup anak-anaknya, 2.000 lebih media…