RIAUBOOK.COM - Praktisi hukum pidana yang juga Pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Aspandiar., SH menyatakan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki dasar hukum kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam sangkaan korupsi.

"Saya tidak ingin fokus pada satu perkara, dan secara umum saja. Yang jelas suatu penegakkan hukum termasuk penetapan status tersangka haruslah bedasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya," kata Aspandiar kepada pers di Pekanbaru, Kamis (13/11/2025).

Mengenai syarat penetapan tersangka kata Aspandiar, hal itu diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, dimana putusan tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

Menanggapi maraknya informasi soal rencana praperadilan pihak pendukung tersangka Abdul Wahid, menurut dia hal itu adalah hak setiap warga negara.

"Namun satu yang pasti, menangpun di praperadilan, tidaklah serta merta menjamin suatu kasus akan ditutup permanen. KPK atau penyidik bisa saja kembali mengangkat kasus tersebut dengan memperbaiki semua kesalahan dan kekurangan yang menyebabkan dia kalah di praperadilan," kata Aspandiar.

Sebelumnya KPK telah menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan dan jembatan tahun anggaran 2025.

KPK menjerat kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu karena diduga melakukan pemerasan, dengan modus meminta jatah uang dari Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Pemprov Riau.

Abdul yang dilantik Februari 2025 lalu, atau belum sembilan bulan menjabat sebagai Gubernur Riau.

Selain Abdul, KPK juga menjadikan tersangka Kepala Dinas PUPR-PKPP Pemprov Riau, Muhammad Arief Setiawan; serta tenaga ahli gubernur, Dani M. Nursalam.

Sebelumnya untuk kasus-kasus korupsi, KPK juga telah beberapa kali digugat praperadilan, salah satunya kasus korupsi e-KTPA yang menjerat Setya Novanto pada tahun 2017.

Setnov ketika itu memenangkan sidang praperadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana hakim menganulir status tersangka yang diberikan KPK kepada Setnov karena dinilai tidak sesuai prosedur.

Namun tidak lama dari putusan itu, KPK kembali mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru dalam perkara kasus korupsi E-KTP pada akhir Oktober 2017.

Dan pada akhirnya, tanggal 24 April 2018, Setya Novanto dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun. Mantan ketua DPR dan ketua umum Golkar itudijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Benny Jozua Mamoto pernah menyatakan, bahwa kalahnya KPK dalam praperadilan karena kasus yang digugat bukan merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT).

Benny mengatakan kebanyakan kasus KPK kalah di praperadilan yakni mengenai perkara yang bukan operasi tangkap tangan (OTT).

"Kekalahan KPK dalam praperadilan justru pada kasus-kasus yang bukan hasil OTT. Nah ini tentunya muncul pertanyaan sejauh mana kecermatan penyidik dan sebagainya sehingga kalah," kata dia.

Dia juga meminta penyidik KPK untuk bekerja profesional tanpa terpengaruh opini publik berkaitan dengan tersangka maupun pokok perkara. (fjr)

tags:

• Pekanbaru
• dumai
• rohil

Share