Riau salah satu provinsi yang belum memiliki perda Rencana tata ruang wilayah (RTRW) sejak tahun 2005 hingga sekarang, sehingga mengakibatkan banyak terjadi permasalahan hutan seperti lahan yang berkonflik antara masyarakat dan perusahaan, perusahaan yang tidak memiliki izin, perusahaan yang berproduksi di kawasan hutan tanpa ada mengurus perizinan perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan, dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi dilema Riau saat ini sehingga RTRWP menjadi hal yang sangat penting dalam keberlanjutannya di masa mendatang.

Adapun sejarah dari pembahasan RTRWP Riau berawal dari usulan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan pada 2009 oleh Rusli Zainal Gubri Riau saat itu, yang diusulkan seluas +- 3.530.696 Ha. Kemudian kementrian kehutanan menindaklanjuti dengan membentuk Tim Terpadu (Timdu) guna mengkaji usulan.

Pada tahun 2012 Timdu merekomendasikan perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan menjadi +- 2.740.586 Ha. Pada 8 Agustus 2014, Zulkifli Hasan Mentri Kehutanan saat itu, menerbitkan SK nomor 673 mengenai perubahan kawasan hutan di Riau. SK 673 ini mengakomodir rekomendasi Timdu dengan mengubah kawasan hutan menjadi kawasan non hutan seluas 1.638.294 Ha.

Saat penerbitan SK 673 langsung diserahkan kepada Gubernur Riau Anas Maamun saat hari jadi Provinsi Riau, 9 Agustus 2014. Menhut Zulkifli mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum terakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau.

Menteri Kehutanan melalui SK.673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 hanya menyetujui perubahan kawasan hutan seluas 1.640.826 ha. Aturan terbaru Menlhk melalui SK.878/Menhut-II/2014 pada tanggal 29 September 2014 dengan SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 pada tanggal 20 April 2016 sebagaimana diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 pada tanggal 25 Mei 2016 perubahan peruntukan kawasan hutan tidak mengalami perubahan signifikan.

Pasca diterbitkannya SK 673, Menhut memberikan kesempatan bagi Pemprov Riau untuk mengusulkan revisi. Namun kenyataannya justru lahan korporasi dan para cukong yang di akomodir oleh pemprov. Persoalan ini yang menjerat Annas Maamun terlibat suap alih fungsi kawasan hutan bersama Edison Marudut, Surya Darmadi.

Pada 17 September 2014, Anas Maamun menanda tangani surat usulan revisi rencana tata ruang wilayah Riau dimana lahan Gulat Manurung di Kuantan Singingi seluas 1.118 ha dan di Bagan Sinembah seluas 1.214 ha serta lokasi perkebunan PT. Palma Satu seluas 11.044 ha, PT. Panca Agro Lestari seluas 3.585 ha, dan sebagian besar lokasi perkebunan PT. Banyu Bening Utama turut masuk didalamnya. Termasuk pula lahan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Pemilik PT. Citra Hokiana Triutama seluas 140 Ha di Duri Bengkalis. Hal ini membuktikan RTRWP Riau rentan tindak korupsi.

Saat ini Draft RTRWP Riau dibahas Pansus RTRWP DPRD Riau. Draft RTRWP tersebut mengacu pada SK Menteri Kehutanan No.673 tahun 2014 hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 314 tahun 2016 dan revisinya SK nomor 393 diterbitkan pada 23 Mei 2016. Dalam SK dituliskan luasan kawasan hutan Riau adalah 5.444.163 Ha dan untuk Area Peruntukan Lain (APL) seluas 3.472.783 hektar.

Dapat dilihat dari pemaparan kronologis RTRWP Riau saat ini. Sebenarnya banyak yang bermain atau pun memanfaatkan situasi ini terkhusus para korporasi dan cukong untuk melegalkan lahan perkebunannya. Apakah dengan kondisi seperti ini kita bisa diam saja? Ayo kita suarakan Gerakan Rakyat Melawan para korporasi dan para cukong di Negeri Riau kita ini. Hidup tertindas atau bangkit melawan: Hidup mahasiswa!!! ***

Penulis adalah Menteri Lingkungan Hidup BEM Universitas Riau: Aidil Fitra

Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau