Oleh: Wira Atma Hajri
Seusai aksi damai umat Islam tertanggal 2 Desember lalu, aksi lainpun tak ketinggalan yaitu parade budaya kita Indonesia, aksi 4 Desember. Mengenai aksi 4 Desember ini ada beberapa catatan saya.
Pertama, aksi 4 Desember adalah tandingan terhadap aksi yang dilakukan oleh umat Islam, terutama aksi 2 Desember itu. Sebab, setiap orator dalam aksi tersebut, lagi-lagi menekankan pada masalah kebhinnekaan. Kita harus besatu. Kita adalah Indonesia. Dan, Indonesia adalah kita. Ini jadi pertanyaan akan penekanan setiap orator dalam aksi tersebut. Bak pepatah, tak ada asap bila tak ada api. Begitu juga dengan aksi 4 Desember itu. Apa yang melatarbelakangi aksi tersebut? Tak mungkin banyak orang berkumpul kecuali ada yang melatarbelakangi. Apalagi katanya dari peserta aksi berasal dari seluruh provinsi di republik ini. Jawabannya adalah tandingan terhadap aksi umat Islam yang mereka anggap tidak menghormati kebhinnekaan itu. Padahal aksi itu, bukanlah karena Ahok non-Muslim. Tapi meminta penegakan hukum yang adil. Hanya itu.
Kedua, aksi tersebut ditunggangi oleh kepentingan politik. Kalau ini dikatakan parade budaya. Ini bukan sekedar parade budaya. Banyak ditemukan atribut-atribut partai di situ. Mengapa berkibar partai-partai pendukung pemerintah secara terang-terangan? Mengapa tidak ada PKS dan Gerindra misalkan? Mengapa kaos partai, terutama Nasdem banyak yang berkeliaran? Ini bisa langsung disaksikan ketika itu. Sebab aksi 4 Desember ini live dari Metro TV.
Oleh karena itu, ya sudahlah. Sebab telah nampak mana yang hak dan mana yang bathil. Bak pepatah mengatakan, sepandai-pandai menyimpan bangkai, tercium juga. Hendaknya media yang ada, termasuk televisi digunakan untuk hal-hal yang membangun bangsa ini. Memberitakan berita, bukan membuat berita. Beritakan yang penting-penting saja. Tak penting tak usahlah. Seharusnya aksi 4 Desember itu tak perlu live di Metro TV.
Ketiga, tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau umat Islam yang aksi, langsung berburuk sangka. Aksi umat Islam dilarang lah. Aksi dibilang makar. Padahal kenyataannya aman-aman saja. Bahkan, Presiden yang ikut bersama para aksi 2 Desember lalu itu, sehat-sehat saja secara fisik sampai hari ini.
Ketika umat ini berkumpul dalam aksi tersebut, ada yang melanggar, langsung diproses. Nah, hal ini berbeda dengan aksi budaya yang ditunggangi aksi politik pragmatis para elit itu. Aksi tersebut telah melanggar Perda Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kenderaan Bermotor. Di mana setiap hari Ahad jam 06.00-11.00 adalah hari bebas kenderaan bermotor. Hari tersebut seharusnya digunakan untuk kegiatan lingkungan hidup, olah raga, dan seni budaya. Bukan untuk kepentingan politik partai-partai tertentu. Walaupun itu disangkal, tapi yang jelas, bagaimana pula dikatakan tidak ada nuansa politik ketika bendera partai ada, kaos partai ada, dan ketua umumnya pun ada.
Keempat, aksi tersebut dinodai dengan melibatkan PNS. Memang setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Begitulah Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945 menyebutnya. Kendatipun demikian, hal ini tidak berlaku sepenuhnya dengan PNS. PNS terikat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara hukum, memang PNS diberikan hak untuk memilih saluran politik yang ia hendaki. Dan, hal itupun hanya boleh disalurkan pada saat pemilu saja. Di luar itu tak boleh. PNS harus tau dengan politik, tapi tak boleh berpolitik. Tak dipungkiri bahwa aksi kebudayaan 4 Desember itu, adalah aksi politik, bukan aksi kebudayaan. Seharusnya, dalam hal ini PNS menjaga netralitasnya.
Meskipun demikian, keterlibatan PNS dalam aksi 4 Desember tersebut, saya juga tidak sepenuhnya menyalahkan PNS. Apa boleh buat, sebab, mereka turun gunung juga dikarenakan adanya intruksi dari kementerian mereka. Tentunya ada ketakutan tersendiri andaikata tidak ikut dalam aksi tersebut. Apa boleh buat.
Kelima, saya menyesalkan aksi 4 Desember itu. Ini adalah aksi yang dipaksakan. Ini bukan aksi kebhinnekaan. Ini adalah aksi yang membahayakan kebhinnekaan itu sendiri. Aksi yang tidak menghormati aksi-aksi umat Islam sebelumnya.
Kalau mereka bilang, kita adalah Indonesia. Indonesia adalah kita. Memangnya, umat Islam yang aksi beberapa waktu yang lalu itu bukan Indonesia. Memangnya mereka itu bukan kita. Mereka Indonesia juga. Mereka beraksi karena mereka Indonesia. Mereka beraksi karena mereka sayang dengan Indonesia. Yang mereka minta hanyalah penegakan hukum yang adil. Tanpa penegakan hukum yang adil, yakinlah, negara ini akan semakin-semakin tertinggal.
Perlu dicatat bahwa aksi umat Islam yang lalu-lalu itu bukanlah anti kebhinnekaan. Juga bukan memecahbelah persatuan. Aksi tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah menuntut akan penegakan hukum yang adil terhadap Ahok. Apa sebab? Sampai hari ini Ahok belum ditahan. Sejarah mencatat, belum pernah ada tersangka di republik ini dalam kasus penistaan agama yang tidak dilakukan penahanan, kecuali Ahok.
Biodata Penulis
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah Abituren Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Meraih gelar Sarjana Hukum Kajian Ketatanegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum kajian yang sama dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat Pujian (Cumlaude) dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini adalah Dosen Tetap Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau pada Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Sampai saat ini tercatat sebagai Anggota Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru dengan Nomor Indeks/Keanggotaan 628.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…