Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau/Pengelola UIR Press)
"Wahai masyarakat! Orang-orang sebelum kita telah melakukan kekeliruan yang parah. Jika orang-orang besar mencuri, mereka membiarkannya. Sementara itu apabila pencurian dilakukan oleh orang-orang kecil, mereka menegakkan hukum dengan setegas-tegasnya. Demi Allah, jika Fatimah anak Muhammad yang mencuri, aku sendiri yang akan potong tangannya". (Muhammad SAW)
Proses yang begitu panjang dan sungguh melelahkan, akhirnya tertanggal 16 November lalu, Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama. Sulit untuk membantah bahwa penetapan tersangka tersebut ada kaitannya dengan aksi terstruktur, sistematis, dan masif 4 November yang berserah itu. Tanpa aksi, saya yakin Ahok tidak akan diproses dan ditetapkan sebagai tersangka.
Kendatipun Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka, proses penegakan hukum ini belum berakhir. Terlepas Presiden dan Kapolri berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa percayakan penegakan hukum Ahok ini kepada aparat penegak hukum. Sayangnya, mereka minta kita percaya, tapi apa boleh buat, malahan membuat kita tidak percaya dengan penegakan hukum itu.
Kita punya standar penegakan hukum. Itukan konsep. Praktikya, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Lain di mulut, lain di hati. Rakyat tahu kok akan hal itu.
Umar dan Raja Ghafanah
Tak dapat dipungkiri, bahwa menegakkan hukum untuk Ahok memang berat. Ahok adalah orang besar. Di sekelilingya diduga para pemodal. Terlebih lagi Presiden yang merupakan atasan langsung dari Kapolri dan Jaksa Agung punya kedekatan yang tak bisa terbantahkan oleh siapapun baik secara politik maupun secara emosional dengan Ahok. Karena itu, mari kita kawal penegakan hukum untuk Ahok ini.
Merunut hal di atas ada baiknya kita melihat sosok Umar Bin Khattab dalam hal penegakan hukum. Ada apa dengan Umar?
Umar dalam menegakkan hukum, dalam matanya semua orang sama. Ia menyamaratakan semua orang. Tak peduli, "orang kecil" maupun "orang besar". Raja maupun rakyat biasa, tak ada bedanya.
Kisah yang begitu dikenal dalam hal ini adalah, ketika Umar menegakkan hukum kepada Raja Ghafanah. Meskipun ia seorang raja, namun Umar sama sekali tidak peduli. Ia tidak membedakannya.
Suatu ketika, sang raja tawaf di sekitar ka'bah, tiba-tiba kainnya terinjak oleh seorang laki-laki biasa. Sang raja pun marah besar, sehingga ia pun memukul laki-laki tersebut, dan menodongnya. Laki-laki itupun kemudian babak belur.
Singkat kisah, lalu, laki-laki inipun mengadu kepada Umar. Ia dipukul oleh Raja Ghafanah. Tanpa pikir-pikir, tanpa ragu, Umar pun memprosesnya. Umar bertanya kepada sang raja mengenai aduan tersebut. Sang raja pun mengakuinya. Lalu, Umar mengatakan, andaikata laki-laki ini tidak memaafkanmu, maka kamu harus diqisos. Karena sang raja yakin bahwa Umar akan menegakkan hukum kepadanya, ia dan para pasukannya pun kabur. Ia pun kembali kepada agamanya semula, agama Nasrani.
Begitulah Umar. Ia tak peduli. Padahal ia punya kepentingan besar dengan Raja Ghafanah itu. Tentu saja dukungan militer terhadap kekuasaannya akan berkurang. Tapi demi persamaan di hadapan hukum, demi keadilan, bagi Umar, keadilan itu lebih utama daripada dukungan militer. Apa boleh buat, raja pun diadili. Apa lagi mantan gubernur, bupati/walikota, dan seterusnya ke bawah.
Dari kisah di atas, dapat kita ambil pelajaran bahwa memang tak mudah mengemban amanah sebagai Presiden. Begitu juga Kapolri dan aparat penegak hukum lainnya. Mestilah mereka itu orang-orang yang bersih dan berani.
Kalau tidak tidak bersih, malahan mereka sendiri yang akan tersandera. Sehingga tak dapat berbuat apa-apa. Mau buka "aib" orang, sama saja buka "aib" sendiri. Lalu, saling tutup-menutupi pun tak terelakkan.
Mereka pun harus berani dikarenakan mereka tidak hanya berhadapan dengan "orang biasa", tetapi juga "orang besar". Dengan "orang biasa", tidak ada beban untuk menegakkan hukum itu. Tapi tidak bagi "orang besar". Apa sebab? "Orang besar" banyak kepentingan di sana. Terlebih lagi kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi. Saling sandera pun tak terelakkan. Apalagi yang bersangkutan dulunya memodali sang penguasa dalam pemilihan. Ini bukan menjadi rahasia lagi. Ini sudah menjadi kelaziman. Kalau tidak, manalah mungkin aset-aset republik tercinta ini dikuasai oleh asing.
Terlepas itu semua, yang jelas, hidup adalah pilihan. Sebanyak-banyak yang suka dengan kita, sebanyak-banyak pula yang tak suka. Pastinya, setiap kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang telah kita perbuat. Satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia. Ingatlah, kita hidup bukanlah untuk hidup. Atau hidup untuk mati. Tapi hidup untuk yang Maha Hidup.****
Biodata Penulis
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah Abituren Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Meraih gelar Sarjana Hukum Kajian Ketatanegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum kajian yang sama dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat Pujian (Cumlaude) dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini adalah Dosen Tetap Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau pada Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Sampai saat ini tercatat sebagai Anggota Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru dengan Nomor Indeks/Keanggotaan 628.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…