Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau/Pengelola UIR Press)
Untung ruginya perjuangan, harus dinilai dari untung ruginya agama. Begitulah nasihat Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum terakhir Partai Masyumi (April 1959-Agustus 1960). Nasihat ini begitu mengena bagi saya secara pribadi. Itulah kenapa belakangan ini saya banyak menulis tema ketatanegaraan sebagai bidang yang saya bergelut dengannya selama ini dalam rawatan/asuhan Islam.
Islam itu harus kita rawat. Islam itu harus kita pupuk. Islam itu harus kita siangi. Islam itu harus kita bela. Sebab, banyak orang di luar sana hari ini yang mengusik dan memeranginya. Ada yang memerangi Islam secara fisik. Ada pula memerangi secara pemikiran. Dan, sadarilah, perang yang paling dahsyat dampaknya itu adalah perang pemikiran. Misalkan beberapa waktu belakangan ini muncul pemikiran, seperti, "lebih baik memilih orang non-Islam yang baik sebagai pemimpin daripada memilih orang Islam yang korupsi". Sekilas, kata-katanya begitu manis dan bijaknya. Tapi, bagi saya ini adalah serangan tingkat tinggi, yang "bersianida", kemudian memunculkan stigma yang sangat berbahaya terhadap Islam.
Kalau di Indonesia, orang Islam yang paling banyak korupsi, maka hal itu wajar. Sebab orang Islam yang mayoritas secara sosiologis. Di Cina, bukan orang Islam, ingat itu. Begitu juga di Amerika, Korea Utara, Venezuela, Brazil, Argentina, Italia, dan seterusnya. Tapi lagi-lagi, semua itu terjadi karena orang Islam yang beriman tak punya media. Orang Islam yang beriman tak ada tempat di media nasional. Sehingga, pemikiran-pemikiran yang menyudutkan Islam tak bisa kita bendung.
Ironisnya, stigma negatif terhadap Islam itu, terkadang datangnya dari orang Islam itu sendiri. Tapi kita sebagai umat Islam tak perlu terlalu beribah hati akan hal itu. Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa: "Tiap-tiap orang yang beriman adalah Islam, tetapi orang Islam belum tentu beriman".
Karena itu, saya ingin melanjutkan perjuangan berikutnya, dalam rangka save Islam, yaitu Islam dan Negara (2) sebagai lanjutan dari tulisan yang sebelumnya, Islam dan Negara (1).
Tidak ada satupun hukum yang ditetapkan oleh Allah kecuali di balik semua itu ada rahasianya. Yakinlah, di balik semua perintah, di situ pasti ada maslahat (kebaikan). Di balik larangan, ada mafsadat (kebinasaan). Dalam kajian filsafat hukum Islam, hal ini dikenal dengan maqosid syariah (rahasia mengapa Allah mensyariatkan sesuatu), yaitu untuk menjaga agama, akal, keturunan, harta, dan jiwa. Termasuk dalam masalah memilih pemimpin, terlebih lagi untuk kepemimpinan dalam sebuah negara, apakah itu Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan seterusnya.
Kembali saya kutip ketika Allah berbicara kepada kita: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim". (QS. Al-Maidah (5): 51).
Ayat di atas mengandung larangan, yaitu "janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu)". Pertanyaan sederhananya adalah mengapa Allah melarangnya?
Di dalam Islam, kepemimpinan termasuk dalam bernegara adalah lanjutan risalah/dakwah Nabi Muhammad. Menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. Amar ma'ruf, nahi mungkar. Bukan sebaliknya.
Kendatipun demikian, terkadang malahan yang terjadi sebaliknya. Dalam masalah khomar misalkan. Allah telah menyebutkan: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)". (QS. Al-Maidah (5): 90-91).
Begitu juga Hadits mengingatkan, bahwa: "Rasulullah melaknat tentang khamar, sepuluh golongan: yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang minta diantaranya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan hasil penjualannya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya". (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
Ironisnya, di Indonesia khomar dilegalkan. Awalnya diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres), bentukan Soeharto, yaitu Kepres Nomor 3/1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Karena digugat oleh FPI ke MA, dan MA pun membatalkan aturan yang melegalkan yang haram itu. Sayangnya, SBY menghidupkan kembali, yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 74/2013 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Jadi Soeharto dan SBY saja beragama Islam, mereka tidak melanjutkan risalah/dakwah nabi, amar makruf, nahi mungkar, apalagi beragama non-Islam. Sebenarnya ini sangat wajar bagi pemimpin yang beragama non-Islam. Ya, wajar. Sebab mereka tidak Islam kan. Dengan Muhammad saja mereka tak percaya, apatah lagi dengan ajaran yang dibawanya.
Konsekuensi dari kepempinan mereka itu adalah Islam pasti tidak akan berkembang. Sebab mereka pun punya standar. Mereka punya visi-misi. Mereka punya ideologi. Tak kan mungkin mereka punya target mencetak putra-putri Islam penghafal Al-Qur'an. Tak kan mungkin mereka punya target mencetak generasi yang Islami. Tak kan mungkin mereka bangun sekolah-sekolah Islam tujuannya untuk mencetak para ulama yang merupakan pewaris nabi. Tak kan mungkin mereka bangun mesjid yang lengkap dengan fasilitasnya.
Analogi sederhananya, dalam skala kecil, mengapa perempuan yang beragama Islam tidak boleh menikah dengan laki-laki yang beragama non-Islam? Suami itu adalah pemimpin di keluarganya. Ketika ia bukanlah seorang muslim, ia tak akan menasehati jika anak-anaknya tak sholat. Ia tak akan menesehati jika anak-anaknya itu tak puasa. Ia tak akan menasehati istrinya kalau tak sholat, dan seterusnya. Singkatnya, ia akan membiarkan. Sebab, standarnya sudah beda. Malahan bisa jadi istri dan anak-anaknya itu yang mengikuti ajaran agamanya. Ini tak mustahil. Ini contohnya sudah banyak terjadi.
Jadi, untuk kepemimpinan keluarga saja dilarang. Apalagi untuk kepemimpinan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota yang dampaknya tentu jauh lebih besar. Pastinya, mereka tidak akan memperjuangkan Islam. Sebab, kepemimpinan mereka itu bukanlah lanjutan dari risalah/dakwah Nabi Muhammad SAW. Itu pasti.****
Biodata Penulis
Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah Abituren Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Meraih gelar Sarjana Hukum Kajian Ketatanegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum kajian yang sama dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat Pujian (Cumlaude) dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini adalah Dosen Tetap Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau pada Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Sampai saat ini tercatat sebagai Anggota Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru dengan Nomor Indeks/Keanggotaan 628.
Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau



Golkar Riau Akan Dipimpin Seorang Pejuang, Bukan Petarung
Goresan; Nofri Andri Yulan, S.Pi (Generasi Muda Partai Golkar)1. PI (Parisman Ikhwan) didukung penuh oleh Ketua DPD I Partai Golkar…